Rabu, 25 April 2018

makalah dinasti Abbasiyah

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Proses Lahirnya Dinasti Abbasiyah
Banyak permasalahan yang sulit dipecahkan oleh pemerintahan Dinasti Umayyah seperti, figur khalifah yang lemah, hak istimewa bangsa Arab Suriah, pemerintahan yang tidak demokratis dan korup, serta persaingan antar suku. Menjadikan sekitar awal abad ke-8 (720M), kebencian terhadap pemerintahan Dinasti Umayyah telah tersebar luas. Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas bermunculan. Kelompok-kelompok itu adalah :
1.    Kelompok muslim non Arab (mawali) yang memprotes kedudukan mereka sebagai warga kelas dua di bawah muslim Arab.
2.    Kelompok Khawarij dan Syi’ah yang menganggap Dinasti Umayyah sebagai perampas khalifah.
3.    Kelompok muslim Arab di Mekkah, Madinah, dan Irak yang merasa sakit hati atas status istimewa penduduk Suriah.
4.    Kelompok muslim yang saleh, baik Arab maupun non-Arab yang memandang keluarga dinasti Umayyah telah bergaya hidup mewah dan jauh dari jalan hidup islami.
Kelompok-kelompok tersebut membentuk suatu kekuatan gabungan yang dikoordinasi oleh keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad saw. Untuk mencari dukungan masyarakat luas, kelompok Dinasti Abbasiyah melakukan propaganda yang mereka sebut sebagai usaha dakwah. Gerakan dakwah dimulai ketika Umar bin Abdul Aziz berkuasa (717-720 M). Umar bin Abdul Aziz memimpin dengan adil. Ketentraman dan stabilitas negara memberi kesempatan kepada gerakan dinasti Abbasiyah untuk menyusun dan merencanakan kegiatannya di al-Humaymah.
Pemimpin gerakan dakwah waktu itu adalah Ali bin Abdullah bin Abbas. Dia kemudian digantikan oleh anaknya Muhammad. Ia memperluas gerakan Dinasti Abbasiyah dan menetapkan tiga kota sebagai pusat gerakan. Ketiga kota itu adalah al-Humaymah sebagai pusat perencanaan dan organisasi, Kufah sebagai kota penghubung, dan Khurasan sebagai pusat gerakan praktis. Muhammad meninggal pada tahun 743 M dan digantikan oleh anaknya, Ibrahim al Imam. Ia kemudian menujuk seorang Khurasan sebagai panglima perangnya, yaitu Abu Muslim al-Khurasani, yang merupakan seorang pemuda yang menampakkan bakat kepemimpinannya dan keberanian yang luar biasa.
Sebelum Abu Musllim al-Khurasani diangkat menjadi panglima perang, gerakan dakwah dilakukan secara diam-diam. Setelah Abu Muslim al-Khurasani diangkat sebagai panglima perang, Ibrahim al-Imam mendorong Abu Muslim al-Khurasani untuk merebut Khurasan dan menyingkirkan orang-orang Arab yang mendukung Dinasti Umayyah pada tahun 747 M. Rencana ini diketahui oleh penguasa dinasti Umayyah. Ibrahim al-Imam ditangkap dan dihukum mati oleh Khalifah Marwan II. Kepemimpinan gerakan dakwah Dinasti Abbasiyah kemudian dipegang oleh saudaranya, Abdullah bin Muhammad, yang dikenal sebagai Abu Abbas as-Saffah.
Abu Muslim al-Khurasani segera memulai gerakannya. Dengan pandai ia memanfaatkan pertentangan antara suku Arab Qaisy dan suku Arab Yamani. Abu Muslim al-Khurasani kemudian mendekati al-Kirmani, pemimpin suku Arab Yamani di Khurasan. Dengan siasat adu domba, Gubernur Nasr bin Sayyar yang berasal dari suku Arab Qaisy berhasil dikalahkan. Dengan bantuan orang-orang Yaman pula, Abu Muslim al-Khurasani berhasil menduduki kota Merv dan Nisabur.
Sementara itu, tentara dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Kahtaba, maju ke sebelah barat. Di bagian timur, tentara Dinasti Abbasiyah terus bergerak maju. Pada tahun 749 M, putra khalifah Marwan dikalahkan Abu Ayyun, seorang panglima Dinasti Abbasiyah. Khalifah Marwan II akhirnya memimpin langsung usaha terakhir untuk mempertahankan dinastinya. Kewalahan, akhirnya Marwan II melarikan diri dan Damaskus pun jatuh ke tangan Dinasti Abbasiyah. Marwan II diburu, dan ia ditemukan di Mesir dan dibunuh di sana.
Abu Abbas as-Saffah kemudian dibaiat sebagai khalifah di Masjid Kufah pada tahun 750M.[1]
Daulah Abbasiyah yang didirikan pada tahun 132-656H/ 750-1258M oleh Abu Abbas Abdullah as Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf merupakan kelanjutan dari pemerintahan Daulah Umayyah yang telah hancur di Damaskus. Dinamakan kekhalifahan Abbasiyah, karena para pendiri dan penguasa dinasti ini merupakan keturunan Bani Abbas, paman Nabi Muhammad saw.[2]
Merupakan Dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Keberhasilan menciptakan pemikiran kreatif dan menghasilkan karya yang monumental dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, peradaban Islam, sosial budaya, dan sebagainya, tidak pernah lepas dari kebijakan-kebijakan khalifah dan peran para tokoh. Para tokoh inilah yang menjadi ujung tombak di dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam serta kemajuan sosial budaya.
Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah di dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, termasuk kemajuan dalam bidang sosial dan budaya.
B.     Kebijaksanaan-kebijaksanaan Bani Abbasiyah
Kemajuan Bani Abbasiyah disebabkan sikap dan kebijaksanaan para penguasanya dalam mengatasi berbagai persoalan, kebijaksanaan itu antara lain ialah:
1.    Para khalifah tetap keturunan Arab sedangkan para menteri, gubernur, panglima perang, dan pegawai diangkat dari bangsa Persia.
2.    Kota Baghdad sebagai ibukota, dijadikan kota internasional untuk segala kegiatan seperti ekonomi, politik, budaya, dan sosial.
3.    Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat mulia dan berharga. Para khalifah membuka kesempatan pengembangan ilmu pengetahuan seluas-luasnya.
4.    Rakyat bebas berfikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang. Seperti akidah, ibadah, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
5.    Para menteri keturunan Persia diberi hak penuh menjalankan pemerintahan, sehingga mereka memegang peranan penting dalam memajukan kebudayaan Islam.
6.    Berkat usaha khalifah yang sungguh-sungguh dalam membangun ekonominya, mereka memiliki perbendaharaan yang cukup berlimpah.
7.    Dalam pengembangan ilmu pengetahuan para khalifah banyak mendukung perkembangan tersebut sehingga banyak buku-buku yang dikarang dalam berbagai ilmu pengetahuan.
C.    Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah pada Masa Jayanya
Adapun khalifah-khalifah pada masa ini ialah:
1.    Abu Abbas as-Saffah (132 – 136 H = 750 – 754 M)
               Khalifah Abu Abbas as-Saffah melakukan usaha militer dengan menghancurkan sisa-sisa kekuatan Dinasti Umayyah. Paman Khalifah Abu Abbas as-Saffah yang bernama Abdullah bin Ali mengatur dengan segala cara untuk melenyapkan segala keluarga dan pengikut Dinasti Umayyah.
Abu Abbas as-Saffah meninggal pada tahun 754 M dan digantikan oleh saudaranya Abu Ja’far al-Manshur.
2.    Abu Ja’far al-Manshur (136 – 158 H = 754 – 775 M)
Naiknya Abu Ja’far al-Manshur sebagai khalifah membuat pamannya, Abdullah bin Ali kecewa. Abdullah bin Ali kemudian memberontak. Dalam pemberontakan yang terjadi di dekat Nasibin, pasukan Abdullah bin Ali  berhasil dihancurkan.
Dalam perkembangan selanjutnya, Abu Muslim al-Khurasani dianggap oleh khalifah sebagai orang yang sangat membahayakan kedudukannya secara politis. Disebabkan Abu Muslim al-Khurasani memiliki pendukung yang sangat besar di Khurasan.  Khalifah pun berencana untuk memindahkannya sebagai gubernur di Suriah. Akan tetapi, Abu Muslim menolak karena merasa bahwa Khurasan adalah negerinya. Karena penolakan itu, Abu Muslim al-Khurasani dijatuhi hukuman mati pada tahun 755 M. Para pengikut Abu Muslim al-Khurasani memberontak, tetapi dapat dipadamkan oleh khalifah Abu Ja’far al-Manshur.
 Pemberontakan dilakukan oleh kaum Rawandiyah, pemberontakan Muhammad dan Ibrahim, pemberontakan kaum Khajar dan kaum Kurdi di Mesopotamia. Dan  kaum Khawarij di Afrika Utara juga memberontak, namun itu semua dapat diatasi. Usaha khalifah gagal ketika merebut kembali Spanyol dari tangan Abdurrahman ad-Dakhil.
Selain pemberontakan dalam negeri, khalifah juga berperang melawan Bizantium. Pada tahun 759 M, khalifah memimpin langsung sebuah ekspedisi ke Tabarisan.
Al-Mansur meninggal pada 775 M dalam perjalanannya ke Mekkah untuk berhaji. Ia digantikan oleh anaknya al-Mahdi.
3.    Al-Mahdi (158 – 169 H = 775 – 785 M)
Al-Mahdi menghadapi lawan politiknya dengan lemah lembut. Ia membebaskan lawan politik yang dipenjarakan ayahnya. Ia juga mengembalikan hak-hak istimewa kota-kota suci yang dicabut oleh ayahnya. Harta para keturunan Nabi dan Ali bin Abi Thalib yang dirampas juga dikembalikan lagi.
Di masa ini, muncul seorang penipu yang bernama Hisyam bin Hakim. Ia mengaku sebagai “Nabi yang Berkerudung” yang dijuluki sebagai al-Muqanna. Ia menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan memperoleh banyak pengikut. Akhirnya, ia berhasil dikalahkan dan dibunuh.
 Seorang Syaikh bernama Ibnul Abdul Quddus mendakwahkan ajaran-ajaran yang merupakan Zoroasterianisme yang terselubung. Para pengikutnya disebut kaum Zindik. Karena dianggap merusak kebiasaan masyarakat dan keyakinan agama. Mereka akhirnya ditumpas habis.
Peperangan dengan Bizantium berkobar lagi ketika mereka menyerang wilayah-wilayah provinsi perbatasan. Dan kemudian berhasil memukul mundur tentara Bizantium, oleh Ibnu Kahtaba. Al-Mahdi kemudian berangkat menuju Mosul untuk memerangi kaum Romawi. Tentara Romawi kemudian berhasil dihancurkan. Khalfiah Al-Mahdi digantikan al-Hadi.
4.    Musa al-Hadi (169 – 170 H = 785 – 786 M)
Masa pemerintahannya sangat singkat, hanya sekitar satu tahun. Pada masa ini terjadi pemberontakan keturunan Ali yang hebat. Pada tahun 786 M, khalifah al-Hadi meninggal dunia karena serangan penyakit.
5.    Harun ar-Rasyid (170 – 193 H = 786 – 809 M)
Merupakan khalifah terbesar dalam sejarah Dinasti Abbasiyah. Namanya melegenda dalam kisah Seribu Satu Malam. Pada masa awal pemerintahannya kaum Khawarij kembali memberontak. Di Armenia, orang Khazan juga memberontak. Namun, khalifah Harun ar-Rasyid segera bertindak dan berhasil menumpas mereka.
Masa khalifah Harun ar-Rasyid juga ditandai dengan jatuhnya kekuasaan Barmak, pemimpin bangsawan Arab bernama Fazal bin Rabi memberi laporan kepada khalifah bahwa keluarga Barmak mengadakan gerakan rahasia untuk menghancurkan Dinasti Abbasiyah. Mendengar berita itu, khalifah marah dan menghukum keluarga Barmak.  Khalifah Harun ar-Rasyid meninggal pada tahun 809 M. Ia digantikan oleh putranya al-Amin.
6.    Abdullah al-Amin ( 193 -198 H = 809 – 813 M)
Atas permintaan Ratu Zubaidah dan saudaranya, Isa bin Ja’far. Ketiga putra mereka diangkat sebagai khalifah berturut-turut. Mereka adalah al-Amin, al-Ma’mun, dan Qasim.
   Pada masa itu terjadilah perang saudara karena memperebutkan takhta kekhalifahan. Golongan bangsawan Arab mendukung al-Amin, sedang golongan bangsawan Persia mendukung al-Ma’mun. Mereka saling melawan dalam peperangan, dan khalifah al-Amin terbunuh dalam peristiwa itu.
7.    Abdullah al-Ma’mun ( 198 – 218 H = 813 – 833 M)
Enam tahun pertamanya ia gunakan untuk mendalami ilmu di Merv, Khurasan. Ia tidak segera menduduki takhta di Baghdad, dikarenakan :
a.         Mendinginkan perasaan dan reaksi penduduk ibukota atas meninggalnya al-Amin.
b.        Menjajaki kekuatan pendukung al-Amin dalam lingkungan keluarga Dinasti Abbasiyah
            Selama itu, pemerintahan diserahkan kepada Fazal bin Sahal. Yang menghadapi beberapa pemberontakan di masa pemerintahannya. Selama pengasingan al-Ma’mun di Merv, beliau justru terkena pengaruh Syi’ah. Pada tahun 819 M, beliau sendiri yang memegang pemerintahan. Di tahun 826 M, beliau menikah dengan Khadijah Buran, anak Hasan bin Sahal. Di tahun 833 M, khalifah al-Ma’mun meninggal.
8.    Al-Mu’tasim (218 – 227 H = 833 – 842 M)
                   Sama halnya dengan saudaranya, khalifah al-Mu’tasim menganut paham Muktazilah. Dalam pemerintahannya, ia juga menghadapi pemberontakan oleh kaum Zatt. Ia menumpas pemberontakan itu dengan tegas. Khalifah al-Mu’tasim kemudian digantikan oleh khalifah terakhir pada periode pertama, al-Wasiq.
D.    Bentuk-bentuk Peradaban Islam Dinasti Abbasiyah
                     Bentuk-bentuk peradaban islam di masa Dinasti Abbasiyah dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, yakni:
a.    Kota-kota pusat peradaban :
a)    Baghdad, merupakan kota yang paling indah yang dikerjakan oleh lebih dari 100.000 pekerja dipimpin oleh Hajaj bin Arthal, di sini terdapat istana yang berada di pusat kota, asrama pengawal, rumah kepala polisi, dan rumah-rumah keluarga khalifah.
b)   Samarra, letaknya di sebelah timur sampai Tigris, 60 km dari kota Baghdad, kotanya nyaman, indah, dan teratur.
b.    Bangunan-bangunan
a)    Madrasah, didirikan pertama kali oleh Nizamul Mulk. Terdapat di kota Baghdad, Balkan, Muro, Tabrisan, Naisabur, Hara, Isfahan, Mausil, Basrah dan kota-kota lain.
b)   Kuttab, yaitu tempat belajar bagi pelajar tingkat rendah dan menengah.
c)    Mesjid, biasanya digunakan untuk tempat belajar tingkat tinggi dan takhassus.
d)   Majelis Munadharah, tempat pertemuan para pujangga, para sarjana untuk menseminarkan masalah-masalah ilmiah.
e)    Baitul Hikamah, merupakan perpustakaan pusat, dibangun oleh Khalifah Harun ar-Rasyid.
f)    Mesjid Raya Kordova, dibangun pada tahun 786 M.
g)   Mesjid Ibnu Toulon, di Kairo dibangun pada tahun 786 M.
h)   Istana al-Hamra, di Kordova.
i)     Istana al-Cazar, dan lain-lain.
E.     Keberhasilan-keberhasilan Dinasti Abbasiyah
Masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah merupakan masa keemasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Pembahasan ilmu pengetahuan berlangsung semarak di berbagai ibukota. Ilmuwan-ilmuwan muslim pun bermunculan.






a.    Perkembangan ilmu filsafat
            Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mempersoalkan hakikat dari segala yang ada. Filsafat masuk ke dalam Islam melalui Yunani yang dijumpai kaum muslimin pada abad ke-8 M di Suriah, Mesopotamia, Persia, dan Mesir.
            Di masa pemerintahan Harun ar-Rasyid, buku-buku ilmu pengetahuan yang berbahasa Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan kegiatan ini makin meningkat pada masa pemerintahan al-Ma’mun.
            Penerjemahan berbagai buku ilmu pengetahuan tersebut juga memunculkan cendikiawan-cendikiawan dan filsuf yang masyhur, seperti al-Kindi (801 – 866 M), ar-Razi (864 – 926 M), al-Farabi (850 - 950 M), Ibnu Sina (908 – 1037 M), Ibnu Maskawaih (941 – 1030 M), dan al-Ghazali (1051 – 1111M).
            Filsafat Islam tidak hanya membahas persoalan kebenaran, tetapi juga mencakup ilmu kedokteran, biologi, kimia, musik, dan talak. Oleh karena itu, filsafat juga memasukkan lapangan ilmu Islam yang lain, seperti tasawuf dan ushul fiqih.
b.    Ilmu Kedokteran
            Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, rumah sakit menjadi pusat pengajaran ilmu kedokteran. Sementara itu aspek teoritisnya dibahas di masjid dan madrasah, terdapat 800 orang dokter di kota Baghdad.
Jika pada abad ke-8 M dan ke-9 M orang Islam masih menjadi murid, pada abad ke-10 M dan ke-11 M mereka menjadi guru bagi orang-orang Kristen dan Yahudi. Pengarang kedokteran pertama Islam adalah Ali bin Rabban at-Tabari yang menulis Firdaus al-Hikmah pada tahun 850 M.
            Seperti at-Tabrani, lahir ratusan dokter dan ilmuwan kedokteran Islam, seperti ar-Razi, Ali bin al-Abbas, Ibnu Sina, Jabir bin Hayyan, al-Kindi, dan al-Farabi.
c.    Ilmu Astronomi
Dikenal juga sebagai ilmu falak. Ilmu ini juga dikembangkan oleh ilmuwan muslim karena ilmu tersebut berkaitan erat dengan pelaksanaan beberapa ketentuan agama Islam, seperti salat lima waktu, penentuan arah kiblat, dan penentuan awal bulan.
Seorang ilmuwan astronomi muslim yang terkenal ketika itu adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi. Ia hidup pada tahun 780 – 850 M. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah di Baghdad. Sampai saat ini, penyelesaian masalah aljabar masih menggunakan cara al-Khawarizmi yang dalam bahasa Inggris disebut algorism.
d.   Baitul Hikmah
Merupakan lembaga ilmu pengetahuan yang didirikan di Baghdad oleh Khalifah al-Ma’mun. Baitul Hikmah memiliki perpustakaan yang sangat lengkap. Di dalamnya terdapat ruang baca dan tempat tinggal bagi para penerjemah. Dengan adanya Baitul Hikmah ini, Kota Baghdad menjadi pusat paling besar dalam dunia ilmu pengetahuan, filsafat, kesusastraan, dan syariat Islam di seluruh wilayah kerajaan Islam. Pada masa selanjutnya, lembaga ini makin bertambah semarak. Ia menjadi tanda kebangkitan kekuatan Timur hingga runtuhnya Baghdad pada tahun 1258 M.
e.    Ilmu Hadis
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, pada masa Bani Abbasiyah muncullah ahli-ahli hadis yang ternama. Seperti:
a). Imam al-Bukhari, yaitu Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Abi Al Hasan, Al-Bukhari lahir di Bukhara tahun 194 H dan wafat di Baghdad tahun 256 H. Hasil karya beliau adalah Shahih Bukhari.
b). Imam Muslim, yaitu Imam Abu Muslim Ibnu Al Hajjaj Ali Qushoiri Al Naishabury wafat tahun 261 H di Naishabur. Hasil karyanya adalah Shahih Muslim.
c).  Ibnu Majah, hasil karyanya ialah Sunan Ibnu Majah
d).  Abu Dawud, hasil karyanya ialah Sunan Abu Dawud
e).  An-Nasa’i, hasil karyanya ialah Sunan An Nasa’


f.  Ilmu Kalam                                       
 Di antara ilmu kalam yang berkembang ialah:
a). Jabariyah, tokohnya Jahm bin Sofyan, Ya’du bin Dirhan
b). Qadariyah, tokohnya Ghilan al-Dimasyqy, Ma’bad Jauhani
c). Mu’tazilah, tokohnya Washil bin ‘Atha.
d). Ahlus Sunnah, tokohnya Abu Hasan al-Asy’ary, al-Ghazali.
g. Ilmu Bahasa
Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa ilmu pengetahuan, di samping sebagai alat komunikasi antar bangsa. Di antara para ahli bahasa itu ialah:
a). Sibawaihi, (wafat tahun 183 H)
b). Al-Kisai, (wafat tahun 198 H)
c). Abu Zakariya al-Farra, (wafat tahun 208 H).[3]         
h.  Ilmu Tafsir
       Terdapat dua cara yang ditempuh oleh para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Pertama, metode tafsir bi al-ma’tsur, yaitu metode penafsiran oleh sekelompok mufassir dengan cara memberi penafsiran al-Qur’an dengan hadis dan penjelasan sahabat. Tokoh-tokohnya ialah, Imam al-Thabary, al-Suda, dan Muqatil bin Sulaiman. Kedua,tafsir dirayah atau tafsir bi al-Ra’yi atau bi al-Aqli, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan akal lebih banyak daripada hadis. Pada masa Bani Abbasiyah ini ditandai dengan munculnya kelompok Mu’tazilah yang tidak terikat oleh hadis maupun perkataan sahabat.
i.           Ilmu Fiqih
Dalam bidang fiqih, para fuqaha, yaitu ahli ilmu fiqih yang ada pada Bani Abbasiyah, mampu menyusun kitab0kitab fiqih terkenal hingga saat ini, misalnya, Imam Abu Hanifah. Ia menyusun kitab Musnad al-Imam al-‘A’dham atau fiqh al-Akbar; Imam Malik menyusun kitab al-Muwatha’; Imam Syafi’i menyusun kitab al-Um dan al-Fiqh al-Akbar fi al-Tauhid, Ibn Hanbal menyusun kitab al-Musnad.
j.   Tasawuf
Kecenderungan pemikiran yang bersifat filosofis menimbulkan gejolak pemikiran di antara umat Islam, sehingga banyak di antara para pemikir muslim mencoba mencari bentuk gerakan pemikiran lain, seperti tasawuf. Mereka berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan melalui tahapan-tahapan yang disebut maqam. Tahapan atau maqam yang mesti dilalui oleh para sufi adalah:
a.       Zuhud, yaitu kehidupan yang telah terbebas dari materi duniawi. Adapun tokoh-tokohnya adalah Sufyan as-Sauri, Abu Hasyim, dan Jabir bin Hasyim.
b.      Mahabbah, yaitu rasa cinta yang sangat dalam kepada Allah swt. salah satu tokoh yang terkenal adalah Rabi’ah al-Adawiyah.
c.       Ma’rifat, yakni pengalaman ketuhanan. Adapun tokohnya Zun Nun al-Misri dan Junaid al-Bagdadi.
d.      Fana dan Baqa, yaitu suatu keadaan di mana seorang sufi belum dapat menyatukan dirinya dengan Tuhan sebelum menghancurkan dirinya. Tokoh sufi dalam maqam ini ialah Abu Yazid al-Bustami
e.       Ittihad dan hulul, yaitu fase di mana seorang sufi telah merasakan dirinya bersatu dengan Tuhan. Tokoh sufi yang masuk dalam kategori ini adalah Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj.
Selain mereka yang telah disebutkan di atas, masih banyak terdapat sufi lain yang terkenal, di antaranya adalah Imam al-Ghazali. Selain sebagai sufi, ia juga dikenal sebagai filosuf, dan mutakallim. Di antara karya besarnya dalam ilmu tasawuf adalah Ihya Ulum al-Din.[4]


F.     Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Disentegrasi Politik
Pada masa akhir kekuasaan Dinasti Abbasiyah para khalifahnya tidak mempunyai kekuatan dan hanya sebagai boneka dari para perdana menterinya. Khalifah menjadi boneka para penguasa yang menguasai pemerintahan waktu itu, seperti penguasa Bani Buwaihiyah, Bani Saljuk, dan para petinggi Turki lainnya.
2.      Perebutan Kekuasaan
Sejak awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sudah ada terjadinya perebutan kekuasaan di dalam keluarga khalifah. Dan penyebabnya adalah estafet kekuasaan kurang baik dalam menentukan putra mahkota. Contoh yang dapat diambil dan dipelajari adalah peristiwa perebutan kekuasaan antara al-Amin dengan al-Ma’mun.
3.      Kedudukan Khalifah yang Lemah
Kewibawaan khalifah Bani Abbas mulai menurun sejak masa al-Watsiq, al-Mutawakil dan sesudahnya. Sulit ditemukan para pengganti khalifah yang mempunyai kemapuan cukup untuk memimpin kerajaan yang besar dan luas.
4.      Munculnya Kerajaan-kerajaan Kecil di Barat dan di Timur Baghdad
Wilayah kekuasaan pada masa Dinasti Abbasiyah yang luas, membuat pemerintahan tidak dapat melakukan kendali dan kontrol dengan baik pada wilayah-wilayah tersebut. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para penguasa daerah yang letaknya sangat jauh dari pusat pemerintahan untuk melepaskan diri dan ingin berdiri sendiri menjadi kerajaan. Di antara kerajaan-kerajaan yang dapat  berhasil melepaskan diri adalah Dinasti Fathimiyah yang didirikan di Tunisia, Dinasti Buaihiyah, dan Dinasti Salajiqah. Dan banyak lagi daerah yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan pusat kekhalifahan Baghdad.

5.      Krisis Ekonomi
Krisis di bidang ekonomi disebabkan dampak dari krisis politik yang mengalami banyak pergolakan dan pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah membuat banyak pendapatan negara tidak masuk ke kas kerajaan. Banyak kelompok yang enggan membayar pajak, bahkan ada beberapa wilayah yang menyatakan merdeka dan tidak terikat dengan pemerintahan pusat di Baghdad.
6.      Ketergantungan pada Tentara Bayaran
Sifat ketergantungan ini disebabkan antara lain oleh semakin canggihnya teknologi perang, para penguasa Dinasti Abbasiyah berupaya mempertahankan dan menjaga keamanan pribadi dan keluarga mereka.
Sebagai konsekuensi dan pengangkatan tentara pribadi dan profesional itu, para khalifah harus memberi gaji yang sesuai dengan jabatan dan pekerjaan yang mereka lakukan. Dengan demikian, pengeluaran dana belanja negara semakin bertambah. Begitu pula yang terjadi pada para gubernur.
G.    Keruntuhan dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol, bukan saja mengakhiri khalifah Abbasiyah, tapi juga merupakan awal dari kemunduran politik dan kehancuran peradaban Islam. Kota yang dikenal sebagai julukan kota Seribu Satu Malam tersebut, yang memiliki pusat-pusat peradaban dan peninggalan Islam dibumihanguskan tentara Hulaghu Khan. Tidak hanya itu masyarakat muslim juga menjadi sasaran biadab tentara Mongol. Para ilmuwan atau ulama banyak yang melarikan diri ke kota-kota lain, seperti Isfahan, Khurasan, dan sebagainya.[5]
                      

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Proses Lahirnya Dinasti Abbasiyah
Banyak permasalahan yang sulit dipecahkan oleh pemerintahan Dinasti Umayyah seperti, figur khalifah yang lemah, hak istimewa bangsa Arab Suriah, pemerintahan yang tidak demokratis dan korup, serta persaingan antar suku. Menjadikan sekitar awal abad ke-8 (720M), kebencian terhadap pemerintahan Dinasti Umayyah telah tersebar luas. Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas bermunculan. Kelompok-kelompok itu adalah :
1.    Kelompok muslim non Arab (mawali) yang memprotes kedudukan mereka sebagai warga kelas dua di bawah muslim Arab.
2.    Kelompok Khawarij dan Syi’ah yang menganggap Dinasti Umayyah sebagai perampas khalifah.
3.    Kelompok muslim Arab di Mekkah, Madinah, dan Irak yang merasa sakit hati atas status istimewa penduduk Suriah.
4.    Kelompok muslim yang saleh, baik Arab maupun non-Arab yang memandang keluarga dinasti Umayyah telah bergaya hidup mewah dan jauh dari jalan hidup islami.
Kelompok-kelompok tersebut membentuk suatu kekuatan gabungan yang dikoordinasi oleh keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad saw. Untuk mencari dukungan masyarakat luas, kelompok Dinasti Abbasiyah melakukan propaganda yang mereka sebut sebagai usaha dakwah. Gerakan dakwah dimulai ketika Umar bin Abdul Aziz berkuasa (717-720 M). Umar bin Abdul Aziz memimpin dengan adil. Ketentraman dan stabilitas negara memberi kesempatan kepada gerakan dinasti Abbasiyah untuk menyusun dan merencanakan kegiatannya di al-Humaymah.
Pemimpin gerakan dakwah waktu itu adalah Ali bin Abdullah bin Abbas. Dia kemudian digantikan oleh anaknya Muhammad. Ia memperluas gerakan Dinasti Abbasiyah dan menetapkan tiga kota sebagai pusat gerakan. Ketiga kota itu adalah al-Humaymah sebagai pusat perencanaan dan organisasi, Kufah sebagai kota penghubung, dan Khurasan sebagai pusat gerakan praktis. Muhammad meninggal pada tahun 743 M dan digantikan oleh anaknya, Ibrahim al Imam. Ia kemudian menujuk seorang Khurasan sebagai panglima perangnya, yaitu Abu Muslim al-Khurasani, yang merupakan seorang pemuda yang menampakkan bakat kepemimpinannya dan keberanian yang luar biasa.
Sebelum Abu Musllim al-Khurasani diangkat menjadi panglima perang, gerakan dakwah dilakukan secara diam-diam. Setelah Abu Muslim al-Khurasani diangkat sebagai panglima perang, Ibrahim al-Imam mendorong Abu Muslim al-Khurasani untuk merebut Khurasan dan menyingkirkan orang-orang Arab yang mendukung Dinasti Umayyah pada tahun 747 M. Rencana ini diketahui oleh penguasa dinasti Umayyah. Ibrahim al-Imam ditangkap dan dihukum mati oleh Khalifah Marwan II. Kepemimpinan gerakan dakwah Dinasti Abbasiyah kemudian dipegang oleh saudaranya, Abdullah bin Muhammad, yang dikenal sebagai Abu Abbas as-Saffah.
Abu Muslim al-Khurasani segera memulai gerakannya. Dengan pandai ia memanfaatkan pertentangan antara suku Arab Qaisy dan suku Arab Yamani. Abu Muslim al-Khurasani kemudian mendekati al-Kirmani, pemimpin suku Arab Yamani di Khurasan. Dengan siasat adu domba, Gubernur Nasr bin Sayyar yang berasal dari suku Arab Qaisy berhasil dikalahkan. Dengan bantuan orang-orang Yaman pula, Abu Muslim al-Khurasani berhasil menduduki kota Merv dan Nisabur.
Sementara itu, tentara dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Kahtaba, maju ke sebelah barat. Di bagian timur, tentara Dinasti Abbasiyah terus bergerak maju. Pada tahun 749 M, putra khalifah Marwan dikalahkan Abu Ayyun, seorang panglima Dinasti Abbasiyah. Khalifah Marwan II akhirnya memimpin langsung usaha terakhir untuk mempertahankan dinastinya. Kewalahan, akhirnya Marwan II melarikan diri dan Damaskus pun jatuh ke tangan Dinasti Abbasiyah. Marwan II diburu, dan ia ditemukan di Mesir dan dibunuh di sana.
Abu Abbas as-Saffah kemudian dibaiat sebagai khalifah di Masjid Kufah pada tahun 750M.[1]
Daulah Abbasiyah yang didirikan pada tahun 132-656H/ 750-1258M oleh Abu Abbas Abdullah as Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf merupakan kelanjutan dari pemerintahan Daulah Umayyah yang telah hancur di Damaskus. Dinamakan kekhalifahan Abbasiyah, karena para pendiri dan penguasa dinasti ini merupakan keturunan Bani Abbas, paman Nabi Muhammad saw.[2]
Merupakan Dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Keberhasilan menciptakan pemikiran kreatif dan menghasilkan karya yang monumental dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, peradaban Islam, sosial budaya, dan sebagainya, tidak pernah lepas dari kebijakan-kebijakan khalifah dan peran para tokoh. Para tokoh inilah yang menjadi ujung tombak di dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam serta kemajuan sosial budaya.
Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah di dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, termasuk kemajuan dalam bidang sosial dan budaya.
B.     Kebijaksanaan-kebijaksanaan Bani Abbasiyah
Kemajuan Bani Abbasiyah disebabkan sikap dan kebijaksanaan para penguasanya dalam mengatasi berbagai persoalan, kebijaksanaan itu antara lain ialah:
1.    Para khalifah tetap keturunan Arab sedangkan para menteri, gubernur, panglima perang, dan pegawai diangkat dari bangsa Persia.
2.    Kota Baghdad sebagai ibukota, dijadikan kota internasional untuk segala kegiatan seperti ekonomi, politik, budaya, dan sosial.
3.    Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat mulia dan berharga. Para khalifah membuka kesempatan pengembangan ilmu pengetahuan seluas-luasnya.
4.    Rakyat bebas berfikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang. Seperti akidah, ibadah, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
5.    Para menteri keturunan Persia diberi hak penuh menjalankan pemerintahan, sehingga mereka memegang peranan penting dalam memajukan kebudayaan Islam.
6.    Berkat usaha khalifah yang sungguh-sungguh dalam membangun ekonominya, mereka memiliki perbendaharaan yang cukup berlimpah.
7.    Dalam pengembangan ilmu pengetahuan para khalifah banyak mendukung perkembangan tersebut sehingga banyak buku-buku yang dikarang dalam berbagai ilmu pengetahuan.
C.    Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah pada Masa Jayanya
Adapun khalifah-khalifah pada masa ini ialah:
1.    Abu Abbas as-Saffah (132 – 136 H = 750 – 754 M)
               Khalifah Abu Abbas as-Saffah melakukan usaha militer dengan menghancurkan sisa-sisa kekuatan Dinasti Umayyah. Paman Khalifah Abu Abbas as-Saffah yang bernama Abdullah bin Ali mengatur dengan segala cara untuk melenyapkan segala keluarga dan pengikut Dinasti Umayyah.
Abu Abbas as-Saffah meninggal pada tahun 754 M dan digantikan oleh saudaranya Abu Ja’far al-Manshur.
2.    Abu Ja’far al-Manshur (136 – 158 H = 754 – 775 M)
Naiknya Abu Ja’far al-Manshur sebagai khalifah membuat pamannya, Abdullah bin Ali kecewa. Abdullah bin Ali kemudian memberontak. Dalam pemberontakan yang terjadi di dekat Nasibin, pasukan Abdullah bin Ali  berhasil dihancurkan.
Dalam perkembangan selanjutnya, Abu Muslim al-Khurasani dianggap oleh khalifah sebagai orang yang sangat membahayakan kedudukannya secara politis. Disebabkan Abu Muslim al-Khurasani memiliki pendukung yang sangat besar di Khurasan.  Khalifah pun berencana untuk memindahkannya sebagai gubernur di Suriah. Akan tetapi, Abu Muslim menolak karena merasa bahwa Khurasan adalah negerinya. Karena penolakan itu, Abu Muslim al-Khurasani dijatuhi hukuman mati pada tahun 755 M. Para pengikut Abu Muslim al-Khurasani memberontak, tetapi dapat dipadamkan oleh khalifah Abu Ja’far al-Manshur.
 Pemberontakan dilakukan oleh kaum Rawandiyah, pemberontakan Muhammad dan Ibrahim, pemberontakan kaum Khajar dan kaum Kurdi di Mesopotamia. Dan  kaum Khawarij di Afrika Utara juga memberontak, namun itu semua dapat diatasi. Usaha khalifah gagal ketika merebut kembali Spanyol dari tangan Abdurrahman ad-Dakhil.
Selain pemberontakan dalam negeri, khalifah juga berperang melawan Bizantium. Pada tahun 759 M, khalifah memimpin langsung sebuah ekspedisi ke Tabarisan.
Al-Mansur meninggal pada 775 M dalam perjalanannya ke Mekkah untuk berhaji. Ia digantikan oleh anaknya al-Mahdi.
3.    Al-Mahdi (158 – 169 H = 775 – 785 M)
Al-Mahdi menghadapi lawan politiknya dengan lemah lembut. Ia membebaskan lawan politik yang dipenjarakan ayahnya. Ia juga mengembalikan hak-hak istimewa kota-kota suci yang dicabut oleh ayahnya. Harta para keturunan Nabi dan Ali bin Abi Thalib yang dirampas juga dikembalikan lagi.
Di masa ini, muncul seorang penipu yang bernama Hisyam bin Hakim. Ia mengaku sebagai “Nabi yang Berkerudung” yang dijuluki sebagai al-Muqanna. Ia menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan memperoleh banyak pengikut. Akhirnya, ia berhasil dikalahkan dan dibunuh.
 Seorang Syaikh bernama Ibnul Abdul Quddus mendakwahkan ajaran-ajaran yang merupakan Zoroasterianisme yang terselubung. Para pengikutnya disebut kaum Zindik. Karena dianggap merusak kebiasaan masyarakat dan keyakinan agama. Mereka akhirnya ditumpas habis.
Peperangan dengan Bizantium berkobar lagi ketika mereka menyerang wilayah-wilayah provinsi perbatasan. Dan kemudian berhasil memukul mundur tentara Bizantium, oleh Ibnu Kahtaba. Al-Mahdi kemudian berangkat menuju Mosul untuk memerangi kaum Romawi. Tentara Romawi kemudian berhasil dihancurkan. Khalfiah Al-Mahdi digantikan al-Hadi.
4.    Musa al-Hadi (169 – 170 H = 785 – 786 M)
Masa pemerintahannya sangat singkat, hanya sekitar satu tahun. Pada masa ini terjadi pemberontakan keturunan Ali yang hebat. Pada tahun 786 M, khalifah al-Hadi meninggal dunia karena serangan penyakit.
5.    Harun ar-Rasyid (170 – 193 H = 786 – 809 M)
Merupakan khalifah terbesar dalam sejarah Dinasti Abbasiyah. Namanya melegenda dalam kisah Seribu Satu Malam. Pada masa awal pemerintahannya kaum Khawarij kembali memberontak. Di Armenia, orang Khazan juga memberontak. Namun, khalifah Harun ar-Rasyid segera bertindak dan berhasil menumpas mereka.
Masa khalifah Harun ar-Rasyid juga ditandai dengan jatuhnya kekuasaan Barmak, pemimpin bangsawan Arab bernama Fazal bin Rabi memberi laporan kepada khalifah bahwa keluarga Barmak mengadakan gerakan rahasia untuk menghancurkan Dinasti Abbasiyah. Mendengar berita itu, khalifah marah dan menghukum keluarga Barmak.  Khalifah Harun ar-Rasyid meninggal pada tahun 809 M. Ia digantikan oleh putranya al-Amin.
6.    Abdullah al-Amin ( 193 -198 H = 809 – 813 M)
Atas permintaan Ratu Zubaidah dan saudaranya, Isa bin Ja’far. Ketiga putra mereka diangkat sebagai khalifah berturut-turut. Mereka adalah al-Amin, al-Ma’mun, dan Qasim.
   Pada masa itu terjadilah perang saudara karena memperebutkan takhta kekhalifahan. Golongan bangsawan Arab mendukung al-Amin, sedang golongan bangsawan Persia mendukung al-Ma’mun. Mereka saling melawan dalam peperangan, dan khalifah al-Amin terbunuh dalam peristiwa itu.
7.    Abdullah al-Ma’mun ( 198 – 218 H = 813 – 833 M)
Enam tahun pertamanya ia gunakan untuk mendalami ilmu di Merv, Khurasan. Ia tidak segera menduduki takhta di Baghdad, dikarenakan :
a.         Mendinginkan perasaan dan reaksi penduduk ibukota atas meninggalnya al-Amin.
b.        Menjajaki kekuatan pendukung al-Amin dalam lingkungan keluarga Dinasti Abbasiyah
            Selama itu, pemerintahan diserahkan kepada Fazal bin Sahal. Yang menghadapi beberapa pemberontakan di masa pemerintahannya. Selama pengasingan al-Ma’mun di Merv, beliau justru terkena pengaruh Syi’ah. Pada tahun 819 M, beliau sendiri yang memegang pemerintahan. Di tahun 826 M, beliau menikah dengan Khadijah Buran, anak Hasan bin Sahal. Di tahun 833 M, khalifah al-Ma’mun meninggal.
8.    Al-Mu’tasim (218 – 227 H = 833 – 842 M)
                   Sama halnya dengan saudaranya, khalifah al-Mu’tasim menganut paham Muktazilah. Dalam pemerintahannya, ia juga menghadapi pemberontakan oleh kaum Zatt. Ia menumpas pemberontakan itu dengan tegas. Khalifah al-Mu’tasim kemudian digantikan oleh khalifah terakhir pada periode pertama, al-Wasiq.
D.    Bentuk-bentuk Peradaban Islam Dinasti Abbasiyah
                     Bentuk-bentuk peradaban islam di masa Dinasti Abbasiyah dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, yakni:
a.    Kota-kota pusat peradaban :
a)    Baghdad, merupakan kota yang paling indah yang dikerjakan oleh lebih dari 100.000 pekerja dipimpin oleh Hajaj bin Arthal, di sini terdapat istana yang berada di pusat kota, asrama pengawal, rumah kepala polisi, dan rumah-rumah keluarga khalifah.
b)   Samarra, letaknya di sebelah timur sampai Tigris, 60 km dari kota Baghdad, kotanya nyaman, indah, dan teratur.
b.    Bangunan-bangunan
a)    Madrasah, didirikan pertama kali oleh Nizamul Mulk. Terdapat di kota Baghdad, Balkan, Muro, Tabrisan, Naisabur, Hara, Isfahan, Mausil, Basrah dan kota-kota lain.
b)   Kuttab, yaitu tempat belajar bagi pelajar tingkat rendah dan menengah.
c)    Mesjid, biasanya digunakan untuk tempat belajar tingkat tinggi dan takhassus.
d)   Majelis Munadharah, tempat pertemuan para pujangga, para sarjana untuk menseminarkan masalah-masalah ilmiah.
e)    Baitul Hikamah, merupakan perpustakaan pusat, dibangun oleh Khalifah Harun ar-Rasyid.
f)    Mesjid Raya Kordova, dibangun pada tahun 786 M.
g)   Mesjid Ibnu Toulon, di Kairo dibangun pada tahun 786 M.
h)   Istana al-Hamra, di Kordova.
i)     Istana al-Cazar, dan lain-lain.
E.     Keberhasilan-keberhasilan Dinasti Abbasiyah
Masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah merupakan masa keemasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Pembahasan ilmu pengetahuan berlangsung semarak di berbagai ibukota. Ilmuwan-ilmuwan muslim pun bermunculan.






a.    Perkembangan ilmu filsafat
            Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mempersoalkan hakikat dari segala yang ada. Filsafat masuk ke dalam Islam melalui Yunani yang dijumpai kaum muslimin pada abad ke-8 M di Suriah, Mesopotamia, Persia, dan Mesir.
            Di masa pemerintahan Harun ar-Rasyid, buku-buku ilmu pengetahuan yang berbahasa Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan kegiatan ini makin meningkat pada masa pemerintahan al-Ma’mun.
            Penerjemahan berbagai buku ilmu pengetahuan tersebut juga memunculkan cendikiawan-cendikiawan dan filsuf yang masyhur, seperti al-Kindi (801 – 866 M), ar-Razi (864 – 926 M), al-Farabi (850 - 950 M), Ibnu Sina (908 – 1037 M), Ibnu Maskawaih (941 – 1030 M), dan al-Ghazali (1051 – 1111M).
            Filsafat Islam tidak hanya membahas persoalan kebenaran, tetapi juga mencakup ilmu kedokteran, biologi, kimia, musik, dan talak. Oleh karena itu, filsafat juga memasukkan lapangan ilmu Islam yang lain, seperti tasawuf dan ushul fiqih.
b.    Ilmu Kedokteran
            Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, rumah sakit menjadi pusat pengajaran ilmu kedokteran. Sementara itu aspek teoritisnya dibahas di masjid dan madrasah, terdapat 800 orang dokter di kota Baghdad.
Jika pada abad ke-8 M dan ke-9 M orang Islam masih menjadi murid, pada abad ke-10 M dan ke-11 M mereka menjadi guru bagi orang-orang Kristen dan Yahudi. Pengarang kedokteran pertama Islam adalah Ali bin Rabban at-Tabari yang menulis Firdaus al-Hikmah pada tahun 850 M.
            Seperti at-Tabrani, lahir ratusan dokter dan ilmuwan kedokteran Islam, seperti ar-Razi, Ali bin al-Abbas, Ibnu Sina, Jabir bin Hayyan, al-Kindi, dan al-Farabi.
c.    Ilmu Astronomi
Dikenal juga sebagai ilmu falak. Ilmu ini juga dikembangkan oleh ilmuwan muslim karena ilmu tersebut berkaitan erat dengan pelaksanaan beberapa ketentuan agama Islam, seperti salat lima waktu, penentuan arah kiblat, dan penentuan awal bulan.
Seorang ilmuwan astronomi muslim yang terkenal ketika itu adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi. Ia hidup pada tahun 780 – 850 M. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah di Baghdad. Sampai saat ini, penyelesaian masalah aljabar masih menggunakan cara al-Khawarizmi yang dalam bahasa Inggris disebut algorism.
d.   Baitul Hikmah
Merupakan lembaga ilmu pengetahuan yang didirikan di Baghdad oleh Khalifah al-Ma’mun. Baitul Hikmah memiliki perpustakaan yang sangat lengkap. Di dalamnya terdapat ruang baca dan tempat tinggal bagi para penerjemah. Dengan adanya Baitul Hikmah ini, Kota Baghdad menjadi pusat paling besar dalam dunia ilmu pengetahuan, filsafat, kesusastraan, dan syariat Islam di seluruh wilayah kerajaan Islam. Pada masa selanjutnya, lembaga ini makin bertambah semarak. Ia menjadi tanda kebangkitan kekuatan Timur hingga runtuhnya Baghdad pada tahun 1258 M.
e.    Ilmu Hadis
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, pada masa Bani Abbasiyah muncullah ahli-ahli hadis yang ternama. Seperti:
a). Imam al-Bukhari, yaitu Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Abi Al Hasan, Al-Bukhari lahir di Bukhara tahun 194 H dan wafat di Baghdad tahun 256 H. Hasil karya beliau adalah Shahih Bukhari.
b). Imam Muslim, yaitu Imam Abu Muslim Ibnu Al Hajjaj Ali Qushoiri Al Naishabury wafat tahun 261 H di Naishabur. Hasil karyanya adalah Shahih Muslim.
c).  Ibnu Majah, hasil karyanya ialah Sunan Ibnu Majah
d).  Abu Dawud, hasil karyanya ialah Sunan Abu Dawud
e).  An-Nasa’i, hasil karyanya ialah Sunan An Nasa’


f.  Ilmu Kalam                                       
 Di antara ilmu kalam yang berkembang ialah:
a). Jabariyah, tokohnya Jahm bin Sofyan, Ya’du bin Dirhan
b). Qadariyah, tokohnya Ghilan al-Dimasyqy, Ma’bad Jauhani
c). Mu’tazilah, tokohnya Washil bin ‘Atha.
d). Ahlus Sunnah, tokohnya Abu Hasan al-Asy’ary, al-Ghazali.
g. Ilmu Bahasa
Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa ilmu pengetahuan, di samping sebagai alat komunikasi antar bangsa. Di antara para ahli bahasa itu ialah:
a). Sibawaihi, (wafat tahun 183 H)
b). Al-Kisai, (wafat tahun 198 H)
c). Abu Zakariya al-Farra, (wafat tahun 208 H).[3]         
h.  Ilmu Tafsir
       Terdapat dua cara yang ditempuh oleh para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Pertama, metode tafsir bi al-ma’tsur, yaitu metode penafsiran oleh sekelompok mufassir dengan cara memberi penafsiran al-Qur’an dengan hadis dan penjelasan sahabat. Tokoh-tokohnya ialah, Imam al-Thabary, al-Suda, dan Muqatil bin Sulaiman. Kedua,tafsir dirayah atau tafsir bi al-Ra’yi atau bi al-Aqli, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan akal lebih banyak daripada hadis. Pada masa Bani Abbasiyah ini ditandai dengan munculnya kelompok Mu’tazilah yang tidak terikat oleh hadis maupun perkataan sahabat.
i.           Ilmu Fiqih
Dalam bidang fiqih, para fuqaha, yaitu ahli ilmu fiqih yang ada pada Bani Abbasiyah, mampu menyusun kitab0kitab fiqih terkenal hingga saat ini, misalnya, Imam Abu Hanifah. Ia menyusun kitab Musnad al-Imam al-‘A’dham atau fiqh al-Akbar; Imam Malik menyusun kitab al-Muwatha’; Imam Syafi’i menyusun kitab al-Um dan al-Fiqh al-Akbar fi al-Tauhid, Ibn Hanbal menyusun kitab al-Musnad.
j.   Tasawuf
Kecenderungan pemikiran yang bersifat filosofis menimbulkan gejolak pemikiran di antara umat Islam, sehingga banyak di antara para pemikir muslim mencoba mencari bentuk gerakan pemikiran lain, seperti tasawuf. Mereka berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan melalui tahapan-tahapan yang disebut maqam. Tahapan atau maqam yang mesti dilalui oleh para sufi adalah:
a.       Zuhud, yaitu kehidupan yang telah terbebas dari materi duniawi. Adapun tokoh-tokohnya adalah Sufyan as-Sauri, Abu Hasyim, dan Jabir bin Hasyim.
b.      Mahabbah, yaitu rasa cinta yang sangat dalam kepada Allah swt. salah satu tokoh yang terkenal adalah Rabi’ah al-Adawiyah.
c.       Ma’rifat, yakni pengalaman ketuhanan. Adapun tokohnya Zun Nun al-Misri dan Junaid al-Bagdadi.
d.      Fana dan Baqa, yaitu suatu keadaan di mana seorang sufi belum dapat menyatukan dirinya dengan Tuhan sebelum menghancurkan dirinya. Tokoh sufi dalam maqam ini ialah Abu Yazid al-Bustami
e.       Ittihad dan hulul, yaitu fase di mana seorang sufi telah merasakan dirinya bersatu dengan Tuhan. Tokoh sufi yang masuk dalam kategori ini adalah Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj.
Selain mereka yang telah disebutkan di atas, masih banyak terdapat sufi lain yang terkenal, di antaranya adalah Imam al-Ghazali. Selain sebagai sufi, ia juga dikenal sebagai filosuf, dan mutakallim. Di antara karya besarnya dalam ilmu tasawuf adalah Ihya Ulum al-Din.[4]


F.     Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Disentegrasi Politik
Pada masa akhir kekuasaan Dinasti Abbasiyah para khalifahnya tidak mempunyai kekuatan dan hanya sebagai boneka dari para perdana menterinya. Khalifah menjadi boneka para penguasa yang menguasai pemerintahan waktu itu, seperti penguasa Bani Buwaihiyah, Bani Saljuk, dan para petinggi Turki lainnya.
2.      Perebutan Kekuasaan
Sejak awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sudah ada terjadinya perebutan kekuasaan di dalam keluarga khalifah. Dan penyebabnya adalah estafet kekuasaan kurang baik dalam menentukan putra mahkota. Contoh yang dapat diambil dan dipelajari adalah peristiwa perebutan kekuasaan antara al-Amin dengan al-Ma’mun.
3.      Kedudukan Khalifah yang Lemah
Kewibawaan khalifah Bani Abbas mulai menurun sejak masa al-Watsiq, al-Mutawakil dan sesudahnya. Sulit ditemukan para pengganti khalifah yang mempunyai kemapuan cukup untuk memimpin kerajaan yang besar dan luas.
4.      Munculnya Kerajaan-kerajaan Kecil di Barat dan di Timur Baghdad
Wilayah kekuasaan pada masa Dinasti Abbasiyah yang luas, membuat pemerintahan tidak dapat melakukan kendali dan kontrol dengan baik pada wilayah-wilayah tersebut. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para penguasa daerah yang letaknya sangat jauh dari pusat pemerintahan untuk melepaskan diri dan ingin berdiri sendiri menjadi kerajaan. Di antara kerajaan-kerajaan yang dapat  berhasil melepaskan diri adalah Dinasti Fathimiyah yang didirikan di Tunisia, Dinasti Buaihiyah, dan Dinasti Salajiqah. Dan banyak lagi daerah yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan pusat kekhalifahan Baghdad.

5.      Krisis Ekonomi
Krisis di bidang ekonomi disebabkan dampak dari krisis politik yang mengalami banyak pergolakan dan pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah membuat banyak pendapatan negara tidak masuk ke kas kerajaan. Banyak kelompok yang enggan membayar pajak, bahkan ada beberapa wilayah yang menyatakan merdeka dan tidak terikat dengan pemerintahan pusat di Baghdad.
6.      Ketergantungan pada Tentara Bayaran
Sifat ketergantungan ini disebabkan antara lain oleh semakin canggihnya teknologi perang, para penguasa Dinasti Abbasiyah berupaya mempertahankan dan menjaga keamanan pribadi dan keluarga mereka.
Sebagai konsekuensi dan pengangkatan tentara pribadi dan profesional itu, para khalifah harus memberi gaji yang sesuai dengan jabatan dan pekerjaan yang mereka lakukan. Dengan demikian, pengeluaran dana belanja negara semakin bertambah. Begitu pula yang terjadi pada para gubernur.
G.    Keruntuhan dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol, bukan saja mengakhiri khalifah Abbasiyah, tapi juga merupakan awal dari kemunduran politik dan kehancuran peradaban Islam. Kota yang dikenal sebagai julukan kota Seribu Satu Malam tersebut, yang memiliki pusat-pusat peradaban dan peninggalan Islam dibumihanguskan tentara Hulaghu Khan. Tidak hanya itu masyarakat muslim juga menjadi sasaran biadab tentara Mongol. Para ilmuwan atau ulama banyak yang melarikan diri ke kota-kota lain, seperti Isfahan, Khurasan, dan sebagainya.[5]
                      


[1] Darsono, T Ibrahim. Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam 2. (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009). Halaman 3-8.
2 Dr. H. Murodi, MA Pendidikan Agama Islam Sejarah Kebudayaan Islam. (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2009). Cet. 1. Halaman: 94.
[3] Drs. Agus Santoso, M.Ag. Modul Hikmah Sejarah Kebudayaan Islam 12. (Sragen: Akik Pusaka, 2008). Halaman: 39-42.
[4]  Dr. H. Murodi, MA. Pendidikan Agama Islam Sejarah Kebudayaan Islam. (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2009). Cet. 1. Halaman: 112-117.
[5] Drs. Agus Santoso, M.Ag. Modul Hikmah Sejarah Kebudayaan Islam 12. (Sragen: Akik Pusaka, 2008). Halaman: 43-46.

[1] Darsono, T Ibrahim. Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam 2. (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009). Halaman 3-8.
2 Dr. H. Murodi, MA Pendidikan Agama Islam Sejarah Kebudayaan Islam. (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2009). Cet. 1. Halaman: 94.
[3] Drs. Agus Santoso, M.Ag. Modul Hikmah Sejarah Kebudayaan Islam 12. (Sragen: Akik Pusaka, 2008). Halaman: 39-42.
[4]  Dr. H. Murodi, MA. Pendidikan Agama Islam Sejarah Kebudayaan Islam. (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2009). Cet. 1. Halaman: 112-117.
[5] Drs. Agus Santoso, M.Ag. Modul Hikmah Sejarah Kebudayaan Islam 12. (Sragen: Akik Pusaka, 2008). Halaman: 43-46.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar