Rabu, 25 April 2018

kearifan lokal kalsel kalteng

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki bermacam- macam suku, kebudayaan dan bangsa.Kebudayaan yang beraneka ragamtersebut tentu dapat terjadi karena perbedaan suku yang terlihat pada setiap wilayahdan daerah di Indonesia.Tentu saja ini menjadi sebuah tradisi yang turun-temurun sejak dahulu.Kebudayaan ini tentu saja harus kita pelihara dan lestarikan keberadaannya, inimerupakan bekal untuk generasi yang akan datang agar mereka juga bisa mengetahui danmelihat keindahan, keunikkan dan keaslian dari kebudayaan tersebut.
Dalam suatu masyarakat terdapat suatu kearifan budaya. Kearifan budaya suatu masyarakat merupakan kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama suatu kurun waktu yang lama.  Kearifan tersebut banyak berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitaan dengan struktur lingkungan; bagaimana lingkungan berfungsi; bagaimana reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia, serta hubungan-hubungan (yang sebaiknya tercipta) antara manausia (masyarakat) dengan lingkungan alamnya.[1]
Diantara sekian banyak kearifan budaya lokal yang terdapat di Indonesia. Pada makalah ini penulis akan membahas kearifan lokal yang ada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan kearifan lokal Nusantara?
2.      Bagaimana contoh dan makna kearifan lokal di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui dimaksud dengan kearifan lokal Nusantara?
2.      Bagaimana contoh dan makna kearifan lokal di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah?



























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kearifan Lokal Nusantara (Kalimantan Selatan Dan Kalimantan Tengah)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kearifan berarti kebijaksanaan atau kecendekiaan.[2]Sedangkan lokal berarti setempat, terjadi (berlaku, ada, dan sebagainya) di satu tempat saja, tidak merata.[3]Serta Nusantara berarti sebutan bagi seluruh wilayah Kepulauan Indonesia.[4]
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.[5]
Jadi, kearifan lokal nusantara adalah kebijaksanaan yang berasal dari kebudayaan masyarakat setempat yang berada di Nusantara.
B.     Contoh dan Makna Kearifan Lokal Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah
1.      Kalimantan Selatan
a.       Rumah adat
1)      Rumah Bubungan Tinggi
Rumah adat ini adalah rumah khas suku Banjar.Dahulu rumah ini menjadi pilihan kediaman Sultan Banjar.Rumah bubungan tinggi terbuat dari kayu ulin atau kayu besi.Kayu ini terkenal sangat kuat. Kayu ini dapat bertahan sampai dengan  ratusan tahun dan antirayap..
Lantai rumah ini tidak langsung menempel di tanah.Ada tiangtiang penyangga untuk menopang lantainya.Jarak antara tanah dan lantainya kurang lebih dua meter.Anak tangga untuk menaikinya selalu ganjil.Terasnya dikelilingi pagar berupa susunan papan berukir kembang bogam atau bentuk geometris.Pagar ini dinamakan kandang rasi.Atapnya terbuat dari kepingan papan tipis-tipis.
Ukuran rumah ini, baik tinggi, panjang, maupun lebarnya, berbeda-beda antara rumah satu dengan lainnya.Perbedaan ini karena pada waktu itu ukurannya ditentukan oleh ukuran depa atau jengkal pemilik rumah masing-masing.Pada zaman dahulu, rumah jenis ini tidak dicat. Warnanya sesuai  dengan warna kayu ulin yang digunakan. Kayu ini jika masih baru berwarna coklat kekuningan.Setelah lama, warnanya menjadi coklat kehitaman.
Adapun makna dari rumah ini  melambangkan perpaduan dunia atas dan dunia bawah. Ukiran burung enggang yang disamarkan pada bagian ujung garis lintang atap rumah ini melambangkan alam atas.Sementara ukiran naga yang juga disamarkan melambangkan alam bawah.Ukiran naga ini terdapat di bagian ujung penampih, yakni papan yang mengelilingi bagian bahwa rumah.Ukiran-ukiran itu sengaja disamarkan.Alasannya karena dalam ajaran Islam yang mereka anut tidak dibolehkan mengukir makhluk bernyawa secara jelas.Wujud rumah ini secara keseluruhan melambangkan pohon kehidupan.Pohon ini memiliki makna keseimbangan dan keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.[6]
2)      Rumah Gajah Baliku
Rumah ini juga termasuk rumah tradisional suku Banjar.Pada masa Kesultanan Banjar, rumah ini merupakan tempat tinggal para saudara sultan.Sebenarnya bentuk fisiknya mirip dengan rumah bubungan tinggi.
Perbedaan antara rumah bubungan tinggi dan rumah ini terletak pada ruang tamu kedua jenis rumah.Pertama, pada ruang tamu rumah bubungan tinggi, lantainya berjenjang, sedangkan pada rumah ini lantainya tidak berjenjang.Perbedaan ini karena rumah bubungan tinggi adalah bangunan istana yang didiami sultan.Saat menghadap raja tentu ada tingkatan ruangan sesuai dengan jabatan dari tiap-tiap tamu yang hadir.
Kedua, pada rumah bubungan tinggi, atap ruang tamu tidak memakai kuda-kuda, sedangkan rumah gajah baliku memakai kuda-kuda.Rumah jenis ini dulunya juga berbahan kayu ulin dan tidak dicat.Sementara itu, bangunan baru yang menggunakan bentuk jenis rumah ini sudah dicat sesuai selera.Bangunan rumah ini menghadap ke arah sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai suku Banjar.Terdapat pula seni ukir khas suku Banjar di dalamnya.
Makna dari rumah ini yaitu secara keseluruhan bangunannya mengandung makna keseimbangan dan keharmonisan antara sesama manusia, termasuk antara sultan dan saudara-saudaranya, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
3)      Rumah Palimasan
Rumah ini masih termasuk rumah tradisional suku Banjar.Bahan dasarnya adalah kayu ulin yang lebih besar.Salah satu ciri utama rumah ini adalah semua bagian atap sirapnya menggunakan atap model perisai.Penggunaan atap model ini membentuk atap berwujud limas.Karena itulah, rumah ini dinamakan rumah palimasan.
Model awal bangunan induknya berbentuk segi empat yang memanjang.Dalam perkembangannya, bagian agak belakang bangunan induk ini mendapatkan tambahan ruang pada sisi sampingnya.Ruang tambahan yang disebut anjung ini pun beratapkan limas.Pada zaman dulu, rumah ini tidak dicat dan menghadap ke arah sungai.Warna kayu ulinlah yang menjadi warna alaminya dengan dihiasi seni ukir khas suku Banjar. Kini rumah palimasan yang tersisa atau bangunan gedung yang berbentuk rumah palimasan dicat sesuai  dengan selera pemilik masing-masing.
Pada masa Kesultanan Banjar, bangunannya didiami oleh bendaharawan.Tugas bendaharawan ini memelihara emas dan perak kesultanan.Rumah dengan bahan yang kuat ini bermakna kehati-hatian dan keteraturan dalam menjaga harta benda yang dimiliki.[7]
4)      Rumah Balai Bini
Rumah tradisional suku Banjar yang satu ini pada masa Kesultanan Banjar didiami oleh para putri sultan atau warga sultan dari pihak perempuan.Bangunan induknya yang segi empat memanjang memakai atap model perisai.Bentuk bangunan induk ini biasanya dinamakan rumah gajah.Atap rumah yang menyerupai perisai ini bermakna perlindungan terhadap wanita.
Bagian bangunan di samping kiri dan kanan bangunan induk tersebut dinamakan anjung.Anjung memakai atap sengkuap. Atap model ini disebut dengan nama atap pisang sasikat. Arti pisang sasikat adalah pisang sesirir.Dinamakan demikian karena ruang bagian kanan dan kiri yang beratap pisang sasikat ini menyerupai sesisir pisang.
Pada dinding depan rumah terdapat satu pintu masuk. Terdapat jendela kanan dan kiri di antara pintu ini.Terasnya diberi pagar kandang rasi seperti pada rumah bubungan tinggi. Rumah ini diberi atap yang menutupi bagian atas emper depan. Atap ini dinamakan atap sindang langit yang tidak diberi plafon.Di bagian terasnya ada empat buah pilar penyangga emper depannya.
Semua model atap rumah ini menggunakan sirap.Rumah ini juga tidak dicat seperti rumah-rumah tradisional suku Banjar lainnya.Warna kayu ulinlah yang menjadi warna aslinya dengan dihiasi seni ukir khas suku Banjar.Rumah ini menghadap ke arah sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai di Kalimantan Selatan.Pada perkembangannya, bangunan gedung modern yang memakai model rumah ini dicat sesuai selera.
5)      Rumah Tadah Alas
Rumah ini juga termasuk salah satu rumah tradisional suku Banjar. Disebut tadah alas karena ada satu lapis atap perisai sebagai kanopi di bagian paling depan. Atap perisai inilah yang disebut tadah alas.Sebenarnya kanopi atau tadah alas ini sengaja ditambahkan sebagai pengembangan dari rumah balai ini.
Rumah ini berbahan dasar kayu ulin.Bangunan induknya juga berbentuk segi empat memanjang.Bagian depannya beratap perisai. Atap bagian depan ini ditumpangi atap perisai lainnya mulai dari beranda paling atas atau ruangan setengah terbuka yang dinamakan surambi pamedangan. Ruang samping atau disebut anjung ada yang ditutupi atap sengkuap pisang sasikat dan ada juga yang ditutupi atap perisai juga.Semua atap berupa sirap dengan bahan kayu ulin.
Semula rumah ini juga tidak dicat.Sesuai perkembangan zaman, ada yang dicat dengan warna-warna sesuai dengan selera pemiliknya.Rumah ini menghadap ke sungai dengan dihiasi ukiran khas suku  Banjar.
Tadah alas atau kanopi ini mengandung makna keadilan secara menyeluruh.Keadilannya terlihat jelas dengan adanya perlindungan bagian induk rumah dengan atap utama dan perlindungan bagian depannya dengan atap tadah alas.
6)      Rumah Gajah Manyusu
Rumah gajah manyusu adalah sebuah nama kolektif. Nama kolektif ini untuk menyebut semua bentuk rumah tradisional suku Banjar yang bangunan induknya beratap perisai buntung.Dalam bahasa banjar disebut atap hidung bapicik.
Pada masa Kesultanan Banjar, rumah ini memang dihuni oleh keturunan raja di garis utama.Mereka disebut warit sultan atau bubuhan gusti yang merupakan para calon pengganti sultan.  Di bagian terasnya ada empat buah pilar penyangga emper depan. Empat pilar ini dapat diganti dengan kontruski balok kuda-kuda penyangga atap emper rumah.
Pada zaman dulu, bahan dasar rumah ini memakai kayu ulin, baik tiang penyangga, lantai, dinding, maupun atapnya.Warna dasarnya sesuai warna kayu ini.Setelah mengenal cat, sebagian rumah ini ada yang dicat sesuai dengan selera pemiliknya, misalnya, warna cokelat.Ada hiasan berupa seni ukir Banjar dalam rumah ini.Bangunan rumah ini juga menghadap ke arah sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai Suku Banjar.
Makna dari rumah ini menggunakan atap pada bagian bubungannya menyerupai perisai, tetapi seakan-akan terpancung atau terpotong sebagian di depannya.Dibuat seakan terpotong seperti itu mengesankan atap yang belum utuh.Ini menyerupai tanaman yang belum tumbuh sempurna.Atap yang belum utuh ini mengandung makna belum menjadi sultan yang sah.
7)      Rumah Balai Laki
Rumah tradisional suku Banjar ini dulu dihuni para penggawa mantri dan para prajurit pengawal keamanan Kesultanan Banjar.  Bentuk atap bangunan depan atau induknya memakai bubungan atap yang menyerupai pelana kuda. Atap ini disebut atap pelana. Bahannya sirap yang berupa kepingan papan tipis-tipis dari kayu ulin
Awalnya bangunan induk rumah ini berbentuk segi empat yang memanjang.Bentuk bangunan induk atau pokok ini disebut rumah laki.Lama-kelamaan bangunannya mendapatkan tambahan berupa ruangan samping.
Terdapat jendela di samping kiri dan kanan pintu ini.Beranda dalam ditopang empat pilar.Rumah ini dulunya tidak bercat. Warnanya sesuai  dengan warna kayu ulin sebagai bahan bangunannya. Kini, rumah ini sudah jarang ditemukan.Rumah ini juga berhiaskan seni ukir khas suku Banjar.Bangunannya pun menghadap ke arah sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai.
Rumah ini memiliki satu pintu masuk di bagian depan. Satu pintu ini maknanya berjiwa kesatria yang gagah berani, cerdas, dan sigap, yaitu tidak mau melarikan diri dari pintu belakang.
8)      Rumah Palimbangan
Pada masa Kesultanan Banjar, rumah tradisional suku Banjar ini adalah hunian para tokoh agama Islam dan para alim ulamanya.Bangunan ini bahan utamanya adalah kayu ulin. Bentuk atap bangunan depan atau induknya juga memakai bubungan atap pelana. Di bagian atas teras depannya ditutup dengan atap sindang langit. Atap teras depan ini biasanya dibuat melebar ke teras samping sampai di depan anjung.  Atapnya terbuat dari kepingan papan tipis atau sirap yang berasal dari kayu ulin juga.
Ada seni ukir khas suku Banjar berupa motif anak catur yang di kiri dan kanannya terdapat ukiran jengger ayam, lipan, atau paku alai. Ukiran ini disebut jamang, letaknya tepat di bagian pucuk rumah.Jamang ini merupakan mahkota bubungannya.Rumah ini juga menghadap ke arah sungai, sebagai bagian dari kebudayaan sungai suku Banjar.
Rumah ini mengandung makna kuatnya agama Islam dan penghormatan terhadap ulama di Kesultanan Banjar.Selain itu, beranda rumah ini ditopang empat pilar.Empat pilar ini masing-masing merupakan simbol dalam agama Islam.Pilar pertama menyimbolkan syariat, yakni hukum yang mengatur seluruh kehidupan manusia.Pilar kedua adalah simbol tarekat, yaitu jalan.Maksudnya menjalankan syariat secara benar. Pilar ketiga merupakan simbol  hakikat, inti sari, atau dasar agama Islam. Pilar keempat simbol makrifat, yaitu tingkat penyerahan diri kepada Allah Swt.[8]

9)      Rumah Cacak Burung
Rumah jenis ini adalah hunian rakyat biasa.Bangunan induknya memanjang dengan beratap pelana.Ruang dalam yang ada di belakang dan ruang samping kiri dan kanan ditutupi atap limas.
Atap yang digunakan untuk rumah ini berupa sirap dan ada pula atap rumbia.Atap rumbia berbahan daun rumbia kering yang disusun dengan sangat rapat.Kini sudah sangat jarang ditemukan rumah seperti ini.Rumah ini juga berhiaskan seni ukir khas suku Banjar seperti rumah lainnya.Bangunannya menghadap ke arah sungai pula.
Kedua atap, yakni atap pelana dan atap limas membentuk tanda tambah (+).Tanda ini merupakan simbol bentuk cacak burung.Simbol ini adalah tanda magis penolak bala.Bentuk tanda tambah (+) inilah yang menyebabkan rumah ini disebut rumah cacak burung.
10)  Rumah Lanting
Bangunan rumah ini mengapung di atas air, yakni di sungai atau di rawa dengan pondasi rakit. Hal inilah yang menyebabkan rumah ini disebut rumah rakit.Bagian pondasi terdiri atas susunan batang-batang pohon besar.Biasanya ada tiga batang pohon besar yang dipakai sebagai pondasinya.Dinding rumah ini biasanya dibuat dengan menyusun kayu lanan secara mendatar.Atapnya berupa atap pelana.Titian digunakan untuk menghubungkan rumah ini dengan daratan.Bahan titian ini bisa dari kayu atau bambu.Bahan atapnya bisa berupa sirap, atap rumbia, atau dari seng.
Bangunannya yang mengapung bermakna kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya, yakni lingkungan air.Buktinya  manusia mampu hidup di atas air dengan menggunakan rumah lanting ini.
11)  Rumah Joglo Gudang atau Rumah Joglo Banjar
Rumah ini juga termasuk rumah tradisional suku Banjar.Bangunannya beratap limas dengan disambung atap sindang langit pada bagian depannya.Atap bagian depannya ini tanpa plafon.Di bagian belakangnya disambung dengan atap sengkuap yang disebut hambin awan.Bangunannya bertiang tinggi.Bagian bawahnya bisa menjadi gudang tempat menyimpan barang.
Rumah ini mengandung makna rendah hati dan gemar berbagi.Makna ini ditandai dengan atap rumah yang bagian tepinya rendah. Pemakaian kata joglo pada nama rumah ini karena bangunannya menyerupai rumah joglo khas suku Jawa. Adapun alasan pemakaian kata gudang karena bagian kolongnya digunakan sebagai gudang menyimpan hasil hutan, karet, dan lainnya yang merupakan komoditas zaman dulu.Rumah ini juga dihiasi seni ukir khas suku Banjar.Arah bangunannya juga menghadap sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai di Kalimantan Selatan.
12)  Rumah Bangun Gudang
Atapnya berbentuk perisai atau atap gajah. Beranda tempat bersantai tergolong kecil karena bagian kanan dan kirinya diubah menjadi dinding depan. Beranda yang kecil ini bermakna bermakna kerja keras atau tidak bermalas-malasan.Pada terasnya tidak terdapat empat pilar penyangga. Rumah ini memiliki tiga pintu masuk, yakni satu dari tengah,  satudari samping kiri, dan satu dari samping kanan beranda. Bahan bangunannya terbuat dari kayu ulin. Lantainya disangga kayukayu setinggi setengah meter dari permukaan tanah. Atap rumah ini umumnya menggunakan sirap.
Terdapat seni ukir khas suku Banjar berupa motif anak catur yang di kiri dan kanannya ada ukiran jengger ayam, lipan, atau paku alai. Ukiran ini disebut jamang, letaknya tepat di bagian pucuk rumah.Jamang ini merupakan mahkota bubungannya.
13)  Rumah Balai
Rumah ini merupakan rumah khas sub-subsuku Dayak yang berada di sepanjang Pegunungan Meratus.Sub-subsuku Dayak ini juga merupakan bagian dari rumpun-rumpun Dayak tersebut di atas.Misalnya, ada yang termasuk rumpun Ot Danum dan ada yang masuk rumpun Iban.Bangunan rumah ini berukuran lebar antara 10 sampai 15 meter dan panjang mencapai 20 sampai 30 meter.Lantainya tidak langsung menyentuh tanah.Ada tiang-tiang penyangga setinggi dua sampai tiga meter.[9]
b.      Tari tradisional
1)      Tari Sinoman Hadrah Rudat
Tarian ini merupakan salah satu bentuk paduan seni tari dan musik khas Banjar yang paling dikenal.Sinoman hadrah rudat bersumber dari budaya yang dibawa oleh pedagang dan pendakwah Islam dari Arab dan Persia.
Kesenian ini sangat dipengaruhi nilai-nilai Islam. Puja dan puji kepada Allah SWT serta Rasul Muhammad SAW, mengisi syair dan pantun yang dilagukan bersahutan dalam irama Qasidah yang merdu, para penarinya melakukan gerakan dinamis dengan dilindungi payung ubur-ubur. Payung ini merupakan lambang keagungan dalam kehidupan tradisional di Indonesia.Sinoman hadrah rudat biasanya ditampilkan untuk pengantin banjar dan menyambut kedatangan tamu.
Tari Sinoman Hadrah Rudat kalsel
2)      Tari Hudo
Tari ini menggambarkan kedatangan utusan dewa ke dunia untuk mengusir roh-roh jahat yang menggangu ketentraman hidup manusia.Melalui tarian ini diperoleh gambaran bahwa suku bangsa Dayak mempercayai adanya makhluk halus yang menguasai kehidupan di dunia.
3)      Tari Giring-Giring
Tari ini merupakan tari pergaulan yang biasanya melibatkan para tamu pada suatu pesta adat penyambutan untuk ikut bergembira.
4)      Tari Baksa Kembang
Tarian ini juga sering dipentaskan pada acara-acara pernikahan ataupun acara adat lainnya.Saat ini tari Baksa Kembang masih sering dipakai pada saat acara penyambutan tamu yang dihormati. Tari baksa kembang berasal dari kata baksa yang berarti kelembutan, artinya bentuk kelembutan tuan rumah dalam penyambutan tamu agung dengan cara memberikan rangkaian bunga oleh penari kepada tamu yang dihormati.Penari tari Baksa selalu ganjil yang memberikan rangkaian bunga (mawar dan melati) yang disebut masyarakat setempat dengan kembang Bogam.[10]
c.       Bahasa daerah
Bahasa masyarakat pada umumnya adalah bahasa  Banjar. Bahasa Banjar banyak dipengaruhi oleh bahasa Melayu, Jawa, dan bahasa Dayak.Bahasa Banjar sering juga pula disebut bahasa Melayu Banjar terdiri atas dua kelompok dialek, yaitu bahasa Banjar Huludan  bahasa Banjar Kuala.
Bahasa Banjar Hulu merupakan dialek asli yang dipakai penduduk yang tinggal di wilayah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Tabalong. Daerah pahuluan dahulu mempakan pusat kerajaan Hindu, tempat asal mula perkembangan bahasa Melayu Banjar.Dialek bahasa Banjar Hulu dituturkan dengan logat yang kental (ba-ilun).Dialek bahasa Banjar Hulu juga dapat ditemukan di kampung-kampung (handil) yang penduduknya berasal dari Hulu Sungai seperti di Kecamatan Gambut, Aluh Aluh, dan Tamban.Ketiga kecamatan tersebut berada di wilayah Banjar Kuala.
Dialek bahasa Banjar Kuala digunakan orang yang tinggal di wilayah Banjar Kuala.Wilayah tersebut pada masa sekarang meliputi Kabupaten Banjar, Barito Kuala, Tanah Laut, Kota Banjarmasin, dan Banjarbaru.Pemakaiannya meluas hingga wilayah pesisir bagian tenggara Kalimantan.Penduduk Kabupaten Tanah Bumbu dan Kota Baru bahkan sampai Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah bercakap-cakap menggunakan dialek ini.Bahasa Banjar Kuala dituturkan dengan logat datar tanpa intonasi tertentu.Dialek Banjar Kuala yang asli dapat ditemukan di sekitar Kota Banjarmasin yang merupakan daerah awal berkembangnya Kesultanan Banjar.
Bahasa Banjar juga digunakan sebagai bahasa percakapan (lingua franca) beberapa suku bangsa di Kalimantan Selatan.Karena kedudukannya sebagai lingua franca, penutur bahasa Melayu Banjar lebih banyak daripada jumlah suku Banjar itu sendiri.Pemakaian bahasa Melayu Banjar dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari di daerah ini lebih dominan dibandingkan dengan bahasa Indonesia.Berbagai suku bangsa di Kalimantan Selatan berusaha mempelajari bahasa Banjar.Bahasa Banjar juga mengenal tingkatan bahasa (Jawa: unggahungguh), tetapi hanya untuk kata ganti orang.[11]
d.      Upacara adat
Suku Banjar memiliki bebrapa upacara adat yang masih dijalankan hingga kini. Keseluruhan upacara berisi doa dan permohonan agar manusia selalu mendapat limpahan rahmat dan karunia Allah Swt. Selanjutnya, manusia dijauhkan dari berbagai bencana yang tidak diinginkan. Beberapa upacara tersebut adalah:
1)      Mandi Tian Mandaring
Upacara ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan pengharapan akan lahirnya seorang bayi. Kelahiran seorang bayi umumnya dimaknai sebagai karunia Tuhan yang amat berharga.Sewwaktu kandungan seorang ibu telah berumur tujuh bulan, upacara Mandi Tiam Mandaring dilaksanakan.Upacara ini disebut juga dengan istilah bapagar mayang karena tempat mandi menggunakan pagar mayang.
2)      Baayun Mulud
Pelaksanaan upacara ini dengan meletakkan bayi yang berusia empat puluh hari di atas ayunan.Ayunan terbuat dari tiga lapis kain.Hiasan Bungan warna warni digantungan disekitar ayunan.Dalam upacara ini dibacakan syair, seperti syair barzanji, syarafal anam dan syair diba’i.saat pembacaa asyrakal dikumandangkan, anak dalam ayunan diayun secara perlahan-lahan dengan cara menarik selendang yang diikat pada ayunan dengan maksud untuk mengambil berkah atas kemuliaan Nabi Muhammad Saw dan rasa syukur kepada Allah Swt.
3)      Upacara adat perkawinan
Perkawinan adat Banjar dipengaruhi oleh ajaran Islam.Tampak jelas besarnya penghormatan terhadap wanita.Hal itu merupakan penerapan dari ajaran Islam yang meyakini bahwa “surge ada di bawah telapak kaki ibu” dan “wanita itu adalah tiang Negara”.Acara demi acara semuanya berpusat di tempat atau di rumah pihak mempelai wanita.Diantaranya, hari batatai adalah hari saat kedua mempelai duduk bersanding setelah akad nikah.Basasarangan atau maatar kada adalah acar keluarga mempelai pria dan wanita saling berkunjung sevara bergantian setelah pernikahan.
4)      Upacara adat kematian
Membantu orang yang tertimpa musibah kematian pada masyarakat Kalimantan Selatan merupakan suatu kewajiban yang dilakukan dengan ikhlas.Segala keperluan biasanya ditanggung bersama secara gotong royong. Tata cara merwat orang yang telah meninggal mengikuti hokum Islam. Setelah penguburan, biasanya dilakukan upacara selamatan baaruh yang dilakukan dalam  beberapa tahap. Tahap pertama adalah upacara turun tanah.Acara didahului dengan tahlil lalu do’a selamat.[12]
2.      Kalimantan Tengah
a.       Rumah adat
1)      Huma betang
Huma betang adalah rumah panjang khas suku Dayak Ngaju. Suku Dayak ini termasuk dalam rumpun Ot Danum yang mendiami wilayah Kalimantan Tengah. Rumah ini panjangnya bisa mencapai 30—150 meter.Lebarnya bisa sampai 10-30 meter.Lantainya tidak langsung menyentuh tanah.Ada tiang-tiang penyangga lantai setinggi 3-5 meter dari permukaan tanahnya.
Rumah ini dapat dihuni oleh 100-150 jiwa.Dalam huma betang dipimpin oleh seorang pembakas lewu atau ketua kampung sehingga rumah ini disebut pula rumah suku.Ada sebuah tangga dan pintu masuk ke dalamnya.Ornamen khas suku Dayak Ngaju sebagai bagian kebudayaan mereka sangat kental di rumah ini.Rumah ini berbahan kayu ulin. Kayu ini bisa tahan sampai dengan  ratusan tahun dan antirayap. Pada zaman dulu rumah ini tidak bercat.Warnanya sesuai dengan warna kayu ulin ini.Atapnya menggunakan bahan sirap dengan jenis atap pelana yang memanjang.Di bagian tengah atas atap itu ada lagi atap pelana tambahan.Terdapat kayu membentuk huruf V tepat di setiap ujung bubungannya.[13]
Betang merupakan tempat tinggal permanen untuk beberapa generasi, dibangun di desa oleh beberapa kepala keluarga yang masih memiliki ikatan pertalian darah/keturunan atau rumah yang menampung banyak keluarga di dalamnya. Walaupun rumah Betang menampung banyak keluarga yang ditampung yang hidup dalam satu atap, tetapi mereka memiliki pemimpin atau kepala adat atau panglima perang yang dapat melindungi mereka dari serangan musuh, yaitu seperi Betang Buntoi di pimpin oleh seorang Singa Djala, Betang Tumbang Korik di pimpin oleh Singa Kiting, Betang Tumbang Anoi dipimpin oleh Damang Batoe, dan lain-lain.
Adapun makna dari Huma Betang ini ialah secara filosofis sebutan Betang juga dapat diartikan sebagai suatu perwujudan budaya hidup bersama dalam satu atap, kegotong royongan, saling pengertian dalam naungan hukum adat yang jelas.Ini adalah suatu gambaran yang nyata dan logis dari suatu peradaban tradisional dimana pada waktu itu keadaan lingkungan fisik yang masih ganas dan buas.Kebersamaan adalah suatu perwujudan kekuatan yang memungkinkan untuk pertahanan dan keberlangsungan.[14]
rumah adat kalimantan
2)      Lewu Hante
Lewu hante merupakan rumah panjang tradisional suku Dayak Maanyan.Suku Dayak ini banyak mendiami daerah Kalimantan Tengah. Mereka termasuk dalam rumpun Ot Danum. Bahan utama bangunan rumah ini adalah kayu ulin.Jarak antara lantai dan permukaan tanah sekitar 3-5 meter.Rumah ini hanya memiliki tangga tunggal untuk memasukinya.Atapnya menggunakan atap pelana yang memanjang.Di atas atap ini tidak ada atap pelana tambahan.Bahan atap terbuat dari sirap.
Di bagian mahkota atap terdapat ukiran bermotif burung enggang dan naga.Seni ukir ini merupakan bagian dari kebudayaan dan kepercayaan mereka.Ukiran burung enggang melambangkan dunia atas, sedangkan ukiran naga melambangkan dunia bawah.
b.      Tari tradisional
1)      Tari hugo dan huda
Tarian hugo dan huda ini merupakan tarian yang termasuk dalam ritual agar para dewa menurunkan hujan ke bumi. Tarian ini biasanya dilakukan apabila telah berlangsung musim kemarau yang cukup lama.
2)      Tari putri malawen
Tari ini tepatnya berada di daerah Barito.Tarian ini pada zaman kerajaan dahuku ditampilkan pada caara-acara besar kerajaan dan ditarikan oleh seorang gadis yang berasal dari sekitar danau Malawen di Barito.
3)      Tari tuntung tulus
Tari tuntung tulus adalah tarian tradisional yang berasal dari Kalimantan Tengah.Tarian ini ditampilkan pada acara perlombaan atau event tertentu di Kalimantan.
4)      Tari giring-giring
Tari giring-giring disebut juga dengan tari gangereng adalah tari tradisional yang biasanya ditampilkan untuk menyambut kedatangan tamu di Barito.Aksesoris yang digunakan para penari yaitu giring-giring terbuat dari bambu tipis (telang) yang diisi dengan biji “piding” sehingga menghasilkan suara yang ritmis dengan alunan kangkanong (gamelan) oleh penarinya.
5)      Tari Manasai
Tari Manasai adalah tarian pergaulan pemuda dan pemudi masyarakat Dayak di daerah Kalimantan tengah.Tarian ini dilakukan oleh beberapa orang peserta, pria dan wanita yang berdiri berseling-seling antara pria dan wanita dalam satu lingkaran.Tarian Manasai dari Kalimantan Tengah dimulai dengan posisi semua penari menghadap ke dalam lingkaran, kemudian berputar kearah kanan, sambil melakukan gerak maju bergerak berlawanan arah jarum jam.Kemudian menghadap ke arah luar lingkaran, berputar lagi ke arah kiri sambil melakukan gerak maju. Tidak ada batasan usia dalam tarian ini. Siapapun boleh bergabung.
6)      Tari Belian Bawo
Tari ini dipertunjukkan untuk melakukan pengobatan, menolak penyakit, membayar nazar dan sebagainya.
7)      Tari Balean Dadas
Tari ini diprgunakan untuk meminta kesebuhan kepada tuhan bagi masyarakat yang sakit. Para penari Balean Dadas memakai pakaian adat dauak yang khas penuh warna seperti hitam, putih, merah, hijau dan kuning melakukan tarian ini untuk memohon kesembuhan kepada Ranying Hatala langit (Tuhan) bagi mereka yang sakit. Selain itu, biasanya seorang dukun perempuan atau Balean dadas ikut dalam tarian ini.
8)      Tari Manganjan
Tari ini biasanya dilakukan oleh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan untuk melakukan ritual tertentu seperti upacara tiwah atau upacara lain. Tiwah sendiri merupakan  prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad menuju sebuah tempat yang bernama sanding.[15]
c.       Bahasa daerah
Masyarakat Kalimantan Tengah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Sebagian bahasa masyarakat Kalimantan Tengah (sekitar 60 %) terutama di daerah perkotaan telah mengenal dan menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi terutama sebagai bahasa pengantar di pemerintahan dan pendidikan. Pelajaran Bahasa Indonesia telah diajarkan kepada para siswa sejak di bangku sekolah dasar.
Sebagian besar penduduk Kalimantan Tengah terdiri atas suku bangsa Dayak.Suku ini terdiri dari atas beberapa subsuku bangsa.Mereka memiliki beberapa subsuku bangsa mereka memiliki beberapa bahasa daerah.Bahasa Dayak Ngajuadalah bahasa Dayak yang paling  luas digunakan di Kalimantan Tengah, terutama di daerah sungai Kahayan dan Kapuas. Bahasa Dayak Ngaju terbagi dalam berbagai dialek seperti bahasa Dayak Katingan dan Ruangan. Selain itu bahasa Ma’anyan di daerah aliran sungai Barito dan Ot Danom oleh suku Dayak Ot Danom di Hulu Sungai Kahayan dan Kapuas.
Bahasa yang yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa banjar.Hal ini dikarenakan memiliki kedekatan geografis dengan daerah Kalimantan Selatan yang mayoritas dihuni oleh suku (orang) Banjar, dan cukup banyak orang Banjar yang merantau ke Kalimantan Tengah.Bahasa lainnya adalah bahasa Jawa, bahasa Batak, dan sebagainya yang dibawa para pendatang.
Menurut Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Tengah, bahasa daerah (lokal) terdapat di sebelas DAS meliputi sembilan bahasa dominan dan tiga belas bahasa minoritas. Sembilan bahasa dominan yaitu bahasa: Melayu, Banjar, Ngaju, Maanyan, Ot Danom, Katingan, Bakumpai, Tamuan, Sampit. Tiga belas bahasa Minoritas yaitu: Mentaya, Pembuang, Dayak Bara Injey, Balai, Bulik, Kadoreh, Mendawai, Waringin, Dusun Bayan, Dusun Tawoyan, Dusun Lawangan, Dayak Barean.[16]
d.      Upacara adat
Upacara di sini tidak dapat dipisahkan dari agama dan kepercayaan yang dinut oleh masyarakat Kalimantan Tengah.Diantaranya yaitu:
1)      Wadian
Upacara adat suku Dayak (Dusun, Maanyan, lawangan, Bawo) dalam rangka pengobatan terhadap orang sakit. Upacara wadian berlangsung selama satu minggu lebih, jenis wadian antara lain wadian Pangunraun (Pangunraun Jatuh, Pangunraun Jawa), Wadian Dapa, Wadian Tapa Unru, Wadian Bawo, Dan Wadian Bulat.
2)      Adat rukun kematian kaharingan
Jenis adat ini meliputi Ngalangkang, Nambak, Ngatet Panuk, Wara, wara Nyalimbat, Ijambe, Bontang, Kedaton, Manenga Lewu, dan Marabia. Hanya boleh dilaksanakan dari bulan Mei sampai bulan September setiap tahun kecuali untuk Kaharingan Lawangan yang upacara kematiannya disebut “Wara”.
3)      Upacara adat tiwah
Tujuan iwah adalah mengantarkan arwah orang yang telah meninggal dunia ke Lewu Tatau atau ke Lewu Liau, yaitu tempat tujuan akhir sempurna bersama Ranying Hatalla (Tuhan).Ritual tiwah memakan waktu selama dua bulan.
4)      Mamapas lewu
Mamafas lewu merupakan manifestasi tatanan kehidupan dalam berinteraksi dengan komunitas sesama.Kegiatan ini bertujuan membersihkan alam dan lingkungan hidup (petak danum) beserta segala isinya dari berbagai sengketa, bahaya sial, wabah penyakit, menciptakan suasana panas menjadi dingin dan gerah menjadi sejuk.
5)      Manetek kayu
Tradisi memperlihatkan kemampuan, keterampilan dan kekuatan pria Dayak dalam menggunakan pahera untuk bisa bertahan hidup.Sama nilainya dengan kemampuan menyumpit, memainkan Mandau maupun tradisi lainnya.[17]
Jadi, contoh kearifan lokal yang ada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sangat beragam seperti rumah adat, tari tradisional, bahasa daerah, dan upacara adat. Adapun makna dari kearifan lokal tersebut tergantung dari daerah masing-masing.
BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
1.      Kearifan berarti kebijaksanaan atau cendikia, sedangkan lokal berarti setempat atau daerah dan Nusantara adalah sebutan untuk bagi seluruh wilayah Kepulauan Indonesia.Jadi, kearifan lokal nusantara adalah kebijaksanaan yang berasal dari kebudayaan masyarakat setempat yang berada di Nusantara.
2.      Contoh kearifan lokal Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sangat beragam seperti rumah adat, tari tradisional, bahasa daerah, dan upacara adat. Adapun makna dari kearifan lokal tersebut tergantung dari daerah masing-masing.



DAFTAR PUSTAKA

Elisa, Nilai-nilai Kearifan Lokal. Yogyakarta: Universitas gajah Mada, tanpa tahun.
Jauhari Ali,Muhammad.Mengenal Kearifan Lokal di Kalimantan. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Achmad Rafieq, Norginayuwati. Kearifan budaya lokal dalam pemanfaatan lahan lebak untuk pertanian di Kalimantan Selatan.tanpa kota: tanpa penerbit, tanpa tahun.
Tim Penyusun.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Usop,Tari Budayanti.Kearifan Lokal dalam Arsitektur Kalimantan Tengah yang Berkesinambungan.Tanpa kota: Tanpa Penerbit, 2011.





[1]Norginayuwati dan Achmad Rafieq.Kearifan budaya lokal dalam pemanfaatan lahan lebak untuk pertanian di Kalimantan Selatan, (tanpa kota: tanpa penerbit, tanpa tahun), h. 30.
[2]Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 89.
[3]Tim Penyusun, Kamus Besar…872
[4]Tim Penyusun, Kamus Besar…1009
[5]Elisa, Nilai-nilai Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Universitas gajah Mada, tanpa tahun),  h. 1.
[6]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal di Kalimantan, (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017), h. 3-4.
[7]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal … h. 7-9.
[8]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal… h. 11-19.
[9]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal … h. 21-43.
[13]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal… h. 34.
[14]Tari Budayanti Usop, Kearifan Lokal dalam Arsitektur Kalimantan Tengah yang Berkesinambungan, (Tanpa kota: Tanpa Penerbit, 2011), Jurnal, Vol. 6, No 1 h. 27.
 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki bermacam- macam suku, kebudayaan dan bangsa.Kebudayaan yang beraneka ragamtersebut tentu dapat terjadi karena perbedaan suku yang terlihat pada setiap wilayahdan daerah di Indonesia.Tentu saja ini menjadi sebuah tradisi yang turun-temurun sejak dahulu.Kebudayaan ini tentu saja harus kita pelihara dan lestarikan keberadaannya, inimerupakan bekal untuk generasi yang akan datang agar mereka juga bisa mengetahui danmelihat keindahan, keunikkan dan keaslian dari kebudayaan tersebut.
Dalam suatu masyarakat terdapat suatu kearifan budaya. Kearifan budaya suatu masyarakat merupakan kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama suatu kurun waktu yang lama.  Kearifan tersebut banyak berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitaan dengan struktur lingkungan; bagaimana lingkungan berfungsi; bagaimana reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia, serta hubungan-hubungan (yang sebaiknya tercipta) antara manausia (masyarakat) dengan lingkungan alamnya.[1]
Diantara sekian banyak kearifan budaya lokal yang terdapat di Indonesia. Pada makalah ini penulis akan membahas kearifan lokal yang ada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan kearifan lokal Nusantara?
2.      Bagaimana contoh dan makna kearifan lokal di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui dimaksud dengan kearifan lokal Nusantara?
2.      Bagaimana contoh dan makna kearifan lokal di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah?



























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kearifan Lokal Nusantara (Kalimantan Selatan Dan Kalimantan Tengah)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kearifan berarti kebijaksanaan atau kecendekiaan.[2]Sedangkan lokal berarti setempat, terjadi (berlaku, ada, dan sebagainya) di satu tempat saja, tidak merata.[3]Serta Nusantara berarti sebutan bagi seluruh wilayah Kepulauan Indonesia.[4]
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.[5]
Jadi, kearifan lokal nusantara adalah kebijaksanaan yang berasal dari kebudayaan masyarakat setempat yang berada di Nusantara.
B.     Contoh dan Makna Kearifan Lokal Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah
1.      Kalimantan Selatan
a.       Rumah adat
1)      Rumah Bubungan Tinggi
Rumah adat ini adalah rumah khas suku Banjar.Dahulu rumah ini menjadi pilihan kediaman Sultan Banjar.Rumah bubungan tinggi terbuat dari kayu ulin atau kayu besi.Kayu ini terkenal sangat kuat. Kayu ini dapat bertahan sampai dengan  ratusan tahun dan antirayap..
Lantai rumah ini tidak langsung menempel di tanah.Ada tiangtiang penyangga untuk menopang lantainya.Jarak antara tanah dan lantainya kurang lebih dua meter.Anak tangga untuk menaikinya selalu ganjil.Terasnya dikelilingi pagar berupa susunan papan berukir kembang bogam atau bentuk geometris.Pagar ini dinamakan kandang rasi.Atapnya terbuat dari kepingan papan tipis-tipis.
Ukuran rumah ini, baik tinggi, panjang, maupun lebarnya, berbeda-beda antara rumah satu dengan lainnya.Perbedaan ini karena pada waktu itu ukurannya ditentukan oleh ukuran depa atau jengkal pemilik rumah masing-masing.Pada zaman dahulu, rumah jenis ini tidak dicat. Warnanya sesuai  dengan warna kayu ulin yang digunakan. Kayu ini jika masih baru berwarna coklat kekuningan.Setelah lama, warnanya menjadi coklat kehitaman.
Adapun makna dari rumah ini  melambangkan perpaduan dunia atas dan dunia bawah. Ukiran burung enggang yang disamarkan pada bagian ujung garis lintang atap rumah ini melambangkan alam atas.Sementara ukiran naga yang juga disamarkan melambangkan alam bawah.Ukiran naga ini terdapat di bagian ujung penampih, yakni papan yang mengelilingi bagian bahwa rumah.Ukiran-ukiran itu sengaja disamarkan.Alasannya karena dalam ajaran Islam yang mereka anut tidak dibolehkan mengukir makhluk bernyawa secara jelas.Wujud rumah ini secara keseluruhan melambangkan pohon kehidupan.Pohon ini memiliki makna keseimbangan dan keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.[6]
2)      Rumah Gajah Baliku
Rumah ini juga termasuk rumah tradisional suku Banjar.Pada masa Kesultanan Banjar, rumah ini merupakan tempat tinggal para saudara sultan.Sebenarnya bentuk fisiknya mirip dengan rumah bubungan tinggi.
Perbedaan antara rumah bubungan tinggi dan rumah ini terletak pada ruang tamu kedua jenis rumah.Pertama, pada ruang tamu rumah bubungan tinggi, lantainya berjenjang, sedangkan pada rumah ini lantainya tidak berjenjang.Perbedaan ini karena rumah bubungan tinggi adalah bangunan istana yang didiami sultan.Saat menghadap raja tentu ada tingkatan ruangan sesuai dengan jabatan dari tiap-tiap tamu yang hadir.
Kedua, pada rumah bubungan tinggi, atap ruang tamu tidak memakai kuda-kuda, sedangkan rumah gajah baliku memakai kuda-kuda.Rumah jenis ini dulunya juga berbahan kayu ulin dan tidak dicat.Sementara itu, bangunan baru yang menggunakan bentuk jenis rumah ini sudah dicat sesuai selera.Bangunan rumah ini menghadap ke arah sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai suku Banjar.Terdapat pula seni ukir khas suku Banjar di dalamnya.
Makna dari rumah ini yaitu secara keseluruhan bangunannya mengandung makna keseimbangan dan keharmonisan antara sesama manusia, termasuk antara sultan dan saudara-saudaranya, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
3)      Rumah Palimasan
Rumah ini masih termasuk rumah tradisional suku Banjar.Bahan dasarnya adalah kayu ulin yang lebih besar.Salah satu ciri utama rumah ini adalah semua bagian atap sirapnya menggunakan atap model perisai.Penggunaan atap model ini membentuk atap berwujud limas.Karena itulah, rumah ini dinamakan rumah palimasan.
Model awal bangunan induknya berbentuk segi empat yang memanjang.Dalam perkembangannya, bagian agak belakang bangunan induk ini mendapatkan tambahan ruang pada sisi sampingnya.Ruang tambahan yang disebut anjung ini pun beratapkan limas.Pada zaman dulu, rumah ini tidak dicat dan menghadap ke arah sungai.Warna kayu ulinlah yang menjadi warna alaminya dengan dihiasi seni ukir khas suku Banjar. Kini rumah palimasan yang tersisa atau bangunan gedung yang berbentuk rumah palimasan dicat sesuai  dengan selera pemilik masing-masing.
Pada masa Kesultanan Banjar, bangunannya didiami oleh bendaharawan.Tugas bendaharawan ini memelihara emas dan perak kesultanan.Rumah dengan bahan yang kuat ini bermakna kehati-hatian dan keteraturan dalam menjaga harta benda yang dimiliki.[7]
4)      Rumah Balai Bini
Rumah tradisional suku Banjar yang satu ini pada masa Kesultanan Banjar didiami oleh para putri sultan atau warga sultan dari pihak perempuan.Bangunan induknya yang segi empat memanjang memakai atap model perisai.Bentuk bangunan induk ini biasanya dinamakan rumah gajah.Atap rumah yang menyerupai perisai ini bermakna perlindungan terhadap wanita.
Bagian bangunan di samping kiri dan kanan bangunan induk tersebut dinamakan anjung.Anjung memakai atap sengkuap. Atap model ini disebut dengan nama atap pisang sasikat. Arti pisang sasikat adalah pisang sesirir.Dinamakan demikian karena ruang bagian kanan dan kiri yang beratap pisang sasikat ini menyerupai sesisir pisang.
Pada dinding depan rumah terdapat satu pintu masuk. Terdapat jendela kanan dan kiri di antara pintu ini.Terasnya diberi pagar kandang rasi seperti pada rumah bubungan tinggi. Rumah ini diberi atap yang menutupi bagian atas emper depan. Atap ini dinamakan atap sindang langit yang tidak diberi plafon.Di bagian terasnya ada empat buah pilar penyangga emper depannya.
Semua model atap rumah ini menggunakan sirap.Rumah ini juga tidak dicat seperti rumah-rumah tradisional suku Banjar lainnya.Warna kayu ulinlah yang menjadi warna aslinya dengan dihiasi seni ukir khas suku Banjar.Rumah ini menghadap ke arah sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai di Kalimantan Selatan.Pada perkembangannya, bangunan gedung modern yang memakai model rumah ini dicat sesuai selera.
5)      Rumah Tadah Alas
Rumah ini juga termasuk salah satu rumah tradisional suku Banjar. Disebut tadah alas karena ada satu lapis atap perisai sebagai kanopi di bagian paling depan. Atap perisai inilah yang disebut tadah alas.Sebenarnya kanopi atau tadah alas ini sengaja ditambahkan sebagai pengembangan dari rumah balai ini.
Rumah ini berbahan dasar kayu ulin.Bangunan induknya juga berbentuk segi empat memanjang.Bagian depannya beratap perisai. Atap bagian depan ini ditumpangi atap perisai lainnya mulai dari beranda paling atas atau ruangan setengah terbuka yang dinamakan surambi pamedangan. Ruang samping atau disebut anjung ada yang ditutupi atap sengkuap pisang sasikat dan ada juga yang ditutupi atap perisai juga.Semua atap berupa sirap dengan bahan kayu ulin.
Semula rumah ini juga tidak dicat.Sesuai perkembangan zaman, ada yang dicat dengan warna-warna sesuai dengan selera pemiliknya.Rumah ini menghadap ke sungai dengan dihiasi ukiran khas suku  Banjar.
Tadah alas atau kanopi ini mengandung makna keadilan secara menyeluruh.Keadilannya terlihat jelas dengan adanya perlindungan bagian induk rumah dengan atap utama dan perlindungan bagian depannya dengan atap tadah alas.
6)      Rumah Gajah Manyusu
Rumah gajah manyusu adalah sebuah nama kolektif. Nama kolektif ini untuk menyebut semua bentuk rumah tradisional suku Banjar yang bangunan induknya beratap perisai buntung.Dalam bahasa banjar disebut atap hidung bapicik.
Pada masa Kesultanan Banjar, rumah ini memang dihuni oleh keturunan raja di garis utama.Mereka disebut warit sultan atau bubuhan gusti yang merupakan para calon pengganti sultan.  Di bagian terasnya ada empat buah pilar penyangga emper depan. Empat pilar ini dapat diganti dengan kontruski balok kuda-kuda penyangga atap emper rumah.
Pada zaman dulu, bahan dasar rumah ini memakai kayu ulin, baik tiang penyangga, lantai, dinding, maupun atapnya.Warna dasarnya sesuai warna kayu ini.Setelah mengenal cat, sebagian rumah ini ada yang dicat sesuai dengan selera pemiliknya, misalnya, warna cokelat.Ada hiasan berupa seni ukir Banjar dalam rumah ini.Bangunan rumah ini juga menghadap ke arah sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai Suku Banjar.
Makna dari rumah ini menggunakan atap pada bagian bubungannya menyerupai perisai, tetapi seakan-akan terpancung atau terpotong sebagian di depannya.Dibuat seakan terpotong seperti itu mengesankan atap yang belum utuh.Ini menyerupai tanaman yang belum tumbuh sempurna.Atap yang belum utuh ini mengandung makna belum menjadi sultan yang sah.
7)      Rumah Balai Laki
Rumah tradisional suku Banjar ini dulu dihuni para penggawa mantri dan para prajurit pengawal keamanan Kesultanan Banjar.  Bentuk atap bangunan depan atau induknya memakai bubungan atap yang menyerupai pelana kuda. Atap ini disebut atap pelana. Bahannya sirap yang berupa kepingan papan tipis-tipis dari kayu ulin
Awalnya bangunan induk rumah ini berbentuk segi empat yang memanjang.Bentuk bangunan induk atau pokok ini disebut rumah laki.Lama-kelamaan bangunannya mendapatkan tambahan berupa ruangan samping.
Terdapat jendela di samping kiri dan kanan pintu ini.Beranda dalam ditopang empat pilar.Rumah ini dulunya tidak bercat. Warnanya sesuai  dengan warna kayu ulin sebagai bahan bangunannya. Kini, rumah ini sudah jarang ditemukan.Rumah ini juga berhiaskan seni ukir khas suku Banjar.Bangunannya pun menghadap ke arah sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai.
Rumah ini memiliki satu pintu masuk di bagian depan. Satu pintu ini maknanya berjiwa kesatria yang gagah berani, cerdas, dan sigap, yaitu tidak mau melarikan diri dari pintu belakang.
8)      Rumah Palimbangan
Pada masa Kesultanan Banjar, rumah tradisional suku Banjar ini adalah hunian para tokoh agama Islam dan para alim ulamanya.Bangunan ini bahan utamanya adalah kayu ulin. Bentuk atap bangunan depan atau induknya juga memakai bubungan atap pelana. Di bagian atas teras depannya ditutup dengan atap sindang langit. Atap teras depan ini biasanya dibuat melebar ke teras samping sampai di depan anjung.  Atapnya terbuat dari kepingan papan tipis atau sirap yang berasal dari kayu ulin juga.
Ada seni ukir khas suku Banjar berupa motif anak catur yang di kiri dan kanannya terdapat ukiran jengger ayam, lipan, atau paku alai. Ukiran ini disebut jamang, letaknya tepat di bagian pucuk rumah.Jamang ini merupakan mahkota bubungannya.Rumah ini juga menghadap ke arah sungai, sebagai bagian dari kebudayaan sungai suku Banjar.
Rumah ini mengandung makna kuatnya agama Islam dan penghormatan terhadap ulama di Kesultanan Banjar.Selain itu, beranda rumah ini ditopang empat pilar.Empat pilar ini masing-masing merupakan simbol dalam agama Islam.Pilar pertama menyimbolkan syariat, yakni hukum yang mengatur seluruh kehidupan manusia.Pilar kedua adalah simbol tarekat, yaitu jalan.Maksudnya menjalankan syariat secara benar. Pilar ketiga merupakan simbol  hakikat, inti sari, atau dasar agama Islam. Pilar keempat simbol makrifat, yaitu tingkat penyerahan diri kepada Allah Swt.[8]

9)      Rumah Cacak Burung
Rumah jenis ini adalah hunian rakyat biasa.Bangunan induknya memanjang dengan beratap pelana.Ruang dalam yang ada di belakang dan ruang samping kiri dan kanan ditutupi atap limas.
Atap yang digunakan untuk rumah ini berupa sirap dan ada pula atap rumbia.Atap rumbia berbahan daun rumbia kering yang disusun dengan sangat rapat.Kini sudah sangat jarang ditemukan rumah seperti ini.Rumah ini juga berhiaskan seni ukir khas suku Banjar seperti rumah lainnya.Bangunannya menghadap ke arah sungai pula.
Kedua atap, yakni atap pelana dan atap limas membentuk tanda tambah (+).Tanda ini merupakan simbol bentuk cacak burung.Simbol ini adalah tanda magis penolak bala.Bentuk tanda tambah (+) inilah yang menyebabkan rumah ini disebut rumah cacak burung.
10)  Rumah Lanting
Bangunan rumah ini mengapung di atas air, yakni di sungai atau di rawa dengan pondasi rakit. Hal inilah yang menyebabkan rumah ini disebut rumah rakit.Bagian pondasi terdiri atas susunan batang-batang pohon besar.Biasanya ada tiga batang pohon besar yang dipakai sebagai pondasinya.Dinding rumah ini biasanya dibuat dengan menyusun kayu lanan secara mendatar.Atapnya berupa atap pelana.Titian digunakan untuk menghubungkan rumah ini dengan daratan.Bahan titian ini bisa dari kayu atau bambu.Bahan atapnya bisa berupa sirap, atap rumbia, atau dari seng.
Bangunannya yang mengapung bermakna kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya, yakni lingkungan air.Buktinya  manusia mampu hidup di atas air dengan menggunakan rumah lanting ini.
11)  Rumah Joglo Gudang atau Rumah Joglo Banjar
Rumah ini juga termasuk rumah tradisional suku Banjar.Bangunannya beratap limas dengan disambung atap sindang langit pada bagian depannya.Atap bagian depannya ini tanpa plafon.Di bagian belakangnya disambung dengan atap sengkuap yang disebut hambin awan.Bangunannya bertiang tinggi.Bagian bawahnya bisa menjadi gudang tempat menyimpan barang.
Rumah ini mengandung makna rendah hati dan gemar berbagi.Makna ini ditandai dengan atap rumah yang bagian tepinya rendah. Pemakaian kata joglo pada nama rumah ini karena bangunannya menyerupai rumah joglo khas suku Jawa. Adapun alasan pemakaian kata gudang karena bagian kolongnya digunakan sebagai gudang menyimpan hasil hutan, karet, dan lainnya yang merupakan komoditas zaman dulu.Rumah ini juga dihiasi seni ukir khas suku Banjar.Arah bangunannya juga menghadap sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai di Kalimantan Selatan.
12)  Rumah Bangun Gudang
Atapnya berbentuk perisai atau atap gajah. Beranda tempat bersantai tergolong kecil karena bagian kanan dan kirinya diubah menjadi dinding depan. Beranda yang kecil ini bermakna bermakna kerja keras atau tidak bermalas-malasan.Pada terasnya tidak terdapat empat pilar penyangga. Rumah ini memiliki tiga pintu masuk, yakni satu dari tengah,  satudari samping kiri, dan satu dari samping kanan beranda. Bahan bangunannya terbuat dari kayu ulin. Lantainya disangga kayukayu setinggi setengah meter dari permukaan tanah. Atap rumah ini umumnya menggunakan sirap.
Terdapat seni ukir khas suku Banjar berupa motif anak catur yang di kiri dan kanannya ada ukiran jengger ayam, lipan, atau paku alai. Ukiran ini disebut jamang, letaknya tepat di bagian pucuk rumah.Jamang ini merupakan mahkota bubungannya.
13)  Rumah Balai
Rumah ini merupakan rumah khas sub-subsuku Dayak yang berada di sepanjang Pegunungan Meratus.Sub-subsuku Dayak ini juga merupakan bagian dari rumpun-rumpun Dayak tersebut di atas.Misalnya, ada yang termasuk rumpun Ot Danum dan ada yang masuk rumpun Iban.Bangunan rumah ini berukuran lebar antara 10 sampai 15 meter dan panjang mencapai 20 sampai 30 meter.Lantainya tidak langsung menyentuh tanah.Ada tiang-tiang penyangga setinggi dua sampai tiga meter.[9]
b.      Tari tradisional
1)      Tari Sinoman Hadrah Rudat
Tarian ini merupakan salah satu bentuk paduan seni tari dan musik khas Banjar yang paling dikenal.Sinoman hadrah rudat bersumber dari budaya yang dibawa oleh pedagang dan pendakwah Islam dari Arab dan Persia.
Kesenian ini sangat dipengaruhi nilai-nilai Islam. Puja dan puji kepada Allah SWT serta Rasul Muhammad SAW, mengisi syair dan pantun yang dilagukan bersahutan dalam irama Qasidah yang merdu, para penarinya melakukan gerakan dinamis dengan dilindungi payung ubur-ubur. Payung ini merupakan lambang keagungan dalam kehidupan tradisional di Indonesia.Sinoman hadrah rudat biasanya ditampilkan untuk pengantin banjar dan menyambut kedatangan tamu.
Tari Sinoman Hadrah Rudat kalsel
2)      Tari Hudo
Tari ini menggambarkan kedatangan utusan dewa ke dunia untuk mengusir roh-roh jahat yang menggangu ketentraman hidup manusia.Melalui tarian ini diperoleh gambaran bahwa suku bangsa Dayak mempercayai adanya makhluk halus yang menguasai kehidupan di dunia.
3)      Tari Giring-Giring
Tari ini merupakan tari pergaulan yang biasanya melibatkan para tamu pada suatu pesta adat penyambutan untuk ikut bergembira.
4)      Tari Baksa Kembang
Tarian ini juga sering dipentaskan pada acara-acara pernikahan ataupun acara adat lainnya.Saat ini tari Baksa Kembang masih sering dipakai pada saat acara penyambutan tamu yang dihormati. Tari baksa kembang berasal dari kata baksa yang berarti kelembutan, artinya bentuk kelembutan tuan rumah dalam penyambutan tamu agung dengan cara memberikan rangkaian bunga oleh penari kepada tamu yang dihormati.Penari tari Baksa selalu ganjil yang memberikan rangkaian bunga (mawar dan melati) yang disebut masyarakat setempat dengan kembang Bogam.[10]
c.       Bahasa daerah
Bahasa masyarakat pada umumnya adalah bahasa  Banjar. Bahasa Banjar banyak dipengaruhi oleh bahasa Melayu, Jawa, dan bahasa Dayak.Bahasa Banjar sering juga pula disebut bahasa Melayu Banjar terdiri atas dua kelompok dialek, yaitu bahasa Banjar Huludan  bahasa Banjar Kuala.
Bahasa Banjar Hulu merupakan dialek asli yang dipakai penduduk yang tinggal di wilayah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Tabalong. Daerah pahuluan dahulu mempakan pusat kerajaan Hindu, tempat asal mula perkembangan bahasa Melayu Banjar.Dialek bahasa Banjar Hulu dituturkan dengan logat yang kental (ba-ilun).Dialek bahasa Banjar Hulu juga dapat ditemukan di kampung-kampung (handil) yang penduduknya berasal dari Hulu Sungai seperti di Kecamatan Gambut, Aluh Aluh, dan Tamban.Ketiga kecamatan tersebut berada di wilayah Banjar Kuala.
Dialek bahasa Banjar Kuala digunakan orang yang tinggal di wilayah Banjar Kuala.Wilayah tersebut pada masa sekarang meliputi Kabupaten Banjar, Barito Kuala, Tanah Laut, Kota Banjarmasin, dan Banjarbaru.Pemakaiannya meluas hingga wilayah pesisir bagian tenggara Kalimantan.Penduduk Kabupaten Tanah Bumbu dan Kota Baru bahkan sampai Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah bercakap-cakap menggunakan dialek ini.Bahasa Banjar Kuala dituturkan dengan logat datar tanpa intonasi tertentu.Dialek Banjar Kuala yang asli dapat ditemukan di sekitar Kota Banjarmasin yang merupakan daerah awal berkembangnya Kesultanan Banjar.
Bahasa Banjar juga digunakan sebagai bahasa percakapan (lingua franca) beberapa suku bangsa di Kalimantan Selatan.Karena kedudukannya sebagai lingua franca, penutur bahasa Melayu Banjar lebih banyak daripada jumlah suku Banjar itu sendiri.Pemakaian bahasa Melayu Banjar dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari di daerah ini lebih dominan dibandingkan dengan bahasa Indonesia.Berbagai suku bangsa di Kalimantan Selatan berusaha mempelajari bahasa Banjar.Bahasa Banjar juga mengenal tingkatan bahasa (Jawa: unggahungguh), tetapi hanya untuk kata ganti orang.[11]
d.      Upacara adat
Suku Banjar memiliki bebrapa upacara adat yang masih dijalankan hingga kini. Keseluruhan upacara berisi doa dan permohonan agar manusia selalu mendapat limpahan rahmat dan karunia Allah Swt. Selanjutnya, manusia dijauhkan dari berbagai bencana yang tidak diinginkan. Beberapa upacara tersebut adalah:
1)      Mandi Tian Mandaring
Upacara ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan pengharapan akan lahirnya seorang bayi. Kelahiran seorang bayi umumnya dimaknai sebagai karunia Tuhan yang amat berharga.Sewwaktu kandungan seorang ibu telah berumur tujuh bulan, upacara Mandi Tiam Mandaring dilaksanakan.Upacara ini disebut juga dengan istilah bapagar mayang karena tempat mandi menggunakan pagar mayang.
2)      Baayun Mulud
Pelaksanaan upacara ini dengan meletakkan bayi yang berusia empat puluh hari di atas ayunan.Ayunan terbuat dari tiga lapis kain.Hiasan Bungan warna warni digantungan disekitar ayunan.Dalam upacara ini dibacakan syair, seperti syair barzanji, syarafal anam dan syair diba’i.saat pembacaa asyrakal dikumandangkan, anak dalam ayunan diayun secara perlahan-lahan dengan cara menarik selendang yang diikat pada ayunan dengan maksud untuk mengambil berkah atas kemuliaan Nabi Muhammad Saw dan rasa syukur kepada Allah Swt.
3)      Upacara adat perkawinan
Perkawinan adat Banjar dipengaruhi oleh ajaran Islam.Tampak jelas besarnya penghormatan terhadap wanita.Hal itu merupakan penerapan dari ajaran Islam yang meyakini bahwa “surge ada di bawah telapak kaki ibu” dan “wanita itu adalah tiang Negara”.Acara demi acara semuanya berpusat di tempat atau di rumah pihak mempelai wanita.Diantaranya, hari batatai adalah hari saat kedua mempelai duduk bersanding setelah akad nikah.Basasarangan atau maatar kada adalah acar keluarga mempelai pria dan wanita saling berkunjung sevara bergantian setelah pernikahan.
4)      Upacara adat kematian
Membantu orang yang tertimpa musibah kematian pada masyarakat Kalimantan Selatan merupakan suatu kewajiban yang dilakukan dengan ikhlas.Segala keperluan biasanya ditanggung bersama secara gotong royong. Tata cara merwat orang yang telah meninggal mengikuti hokum Islam. Setelah penguburan, biasanya dilakukan upacara selamatan baaruh yang dilakukan dalam  beberapa tahap. Tahap pertama adalah upacara turun tanah.Acara didahului dengan tahlil lalu do’a selamat.[12]
2.      Kalimantan Tengah
a.       Rumah adat
1)      Huma betang
Huma betang adalah rumah panjang khas suku Dayak Ngaju. Suku Dayak ini termasuk dalam rumpun Ot Danum yang mendiami wilayah Kalimantan Tengah. Rumah ini panjangnya bisa mencapai 30—150 meter.Lebarnya bisa sampai 10-30 meter.Lantainya tidak langsung menyentuh tanah.Ada tiang-tiang penyangga lantai setinggi 3-5 meter dari permukaan tanahnya.
Rumah ini dapat dihuni oleh 100-150 jiwa.Dalam huma betang dipimpin oleh seorang pembakas lewu atau ketua kampung sehingga rumah ini disebut pula rumah suku.Ada sebuah tangga dan pintu masuk ke dalamnya.Ornamen khas suku Dayak Ngaju sebagai bagian kebudayaan mereka sangat kental di rumah ini.Rumah ini berbahan kayu ulin. Kayu ini bisa tahan sampai dengan  ratusan tahun dan antirayap. Pada zaman dulu rumah ini tidak bercat.Warnanya sesuai dengan warna kayu ulin ini.Atapnya menggunakan bahan sirap dengan jenis atap pelana yang memanjang.Di bagian tengah atas atap itu ada lagi atap pelana tambahan.Terdapat kayu membentuk huruf V tepat di setiap ujung bubungannya.[13]
Betang merupakan tempat tinggal permanen untuk beberapa generasi, dibangun di desa oleh beberapa kepala keluarga yang masih memiliki ikatan pertalian darah/keturunan atau rumah yang menampung banyak keluarga di dalamnya. Walaupun rumah Betang menampung banyak keluarga yang ditampung yang hidup dalam satu atap, tetapi mereka memiliki pemimpin atau kepala adat atau panglima perang yang dapat melindungi mereka dari serangan musuh, yaitu seperi Betang Buntoi di pimpin oleh seorang Singa Djala, Betang Tumbang Korik di pimpin oleh Singa Kiting, Betang Tumbang Anoi dipimpin oleh Damang Batoe, dan lain-lain.
Adapun makna dari Huma Betang ini ialah secara filosofis sebutan Betang juga dapat diartikan sebagai suatu perwujudan budaya hidup bersama dalam satu atap, kegotong royongan, saling pengertian dalam naungan hukum adat yang jelas.Ini adalah suatu gambaran yang nyata dan logis dari suatu peradaban tradisional dimana pada waktu itu keadaan lingkungan fisik yang masih ganas dan buas.Kebersamaan adalah suatu perwujudan kekuatan yang memungkinkan untuk pertahanan dan keberlangsungan.[14]
rumah adat kalimantan
2)      Lewu Hante
Lewu hante merupakan rumah panjang tradisional suku Dayak Maanyan.Suku Dayak ini banyak mendiami daerah Kalimantan Tengah. Mereka termasuk dalam rumpun Ot Danum. Bahan utama bangunan rumah ini adalah kayu ulin.Jarak antara lantai dan permukaan tanah sekitar 3-5 meter.Rumah ini hanya memiliki tangga tunggal untuk memasukinya.Atapnya menggunakan atap pelana yang memanjang.Di atas atap ini tidak ada atap pelana tambahan.Bahan atap terbuat dari sirap.
Di bagian mahkota atap terdapat ukiran bermotif burung enggang dan naga.Seni ukir ini merupakan bagian dari kebudayaan dan kepercayaan mereka.Ukiran burung enggang melambangkan dunia atas, sedangkan ukiran naga melambangkan dunia bawah.
b.      Tari tradisional
1)      Tari hugo dan huda
Tarian hugo dan huda ini merupakan tarian yang termasuk dalam ritual agar para dewa menurunkan hujan ke bumi. Tarian ini biasanya dilakukan apabila telah berlangsung musim kemarau yang cukup lama.
2)      Tari putri malawen
Tari ini tepatnya berada di daerah Barito.Tarian ini pada zaman kerajaan dahuku ditampilkan pada caara-acara besar kerajaan dan ditarikan oleh seorang gadis yang berasal dari sekitar danau Malawen di Barito.
3)      Tari tuntung tulus
Tari tuntung tulus adalah tarian tradisional yang berasal dari Kalimantan Tengah.Tarian ini ditampilkan pada acara perlombaan atau event tertentu di Kalimantan.
4)      Tari giring-giring
Tari giring-giring disebut juga dengan tari gangereng adalah tari tradisional yang biasanya ditampilkan untuk menyambut kedatangan tamu di Barito.Aksesoris yang digunakan para penari yaitu giring-giring terbuat dari bambu tipis (telang) yang diisi dengan biji “piding” sehingga menghasilkan suara yang ritmis dengan alunan kangkanong (gamelan) oleh penarinya.
5)      Tari Manasai
Tari Manasai adalah tarian pergaulan pemuda dan pemudi masyarakat Dayak di daerah Kalimantan tengah.Tarian ini dilakukan oleh beberapa orang peserta, pria dan wanita yang berdiri berseling-seling antara pria dan wanita dalam satu lingkaran.Tarian Manasai dari Kalimantan Tengah dimulai dengan posisi semua penari menghadap ke dalam lingkaran, kemudian berputar kearah kanan, sambil melakukan gerak maju bergerak berlawanan arah jarum jam.Kemudian menghadap ke arah luar lingkaran, berputar lagi ke arah kiri sambil melakukan gerak maju. Tidak ada batasan usia dalam tarian ini. Siapapun boleh bergabung.
6)      Tari Belian Bawo
Tari ini dipertunjukkan untuk melakukan pengobatan, menolak penyakit, membayar nazar dan sebagainya.
7)      Tari Balean Dadas
Tari ini diprgunakan untuk meminta kesebuhan kepada tuhan bagi masyarakat yang sakit. Para penari Balean Dadas memakai pakaian adat dauak yang khas penuh warna seperti hitam, putih, merah, hijau dan kuning melakukan tarian ini untuk memohon kesembuhan kepada Ranying Hatala langit (Tuhan) bagi mereka yang sakit. Selain itu, biasanya seorang dukun perempuan atau Balean dadas ikut dalam tarian ini.
8)      Tari Manganjan
Tari ini biasanya dilakukan oleh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan untuk melakukan ritual tertentu seperti upacara tiwah atau upacara lain. Tiwah sendiri merupakan  prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad menuju sebuah tempat yang bernama sanding.[15]
c.       Bahasa daerah
Masyarakat Kalimantan Tengah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Sebagian bahasa masyarakat Kalimantan Tengah (sekitar 60 %) terutama di daerah perkotaan telah mengenal dan menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi terutama sebagai bahasa pengantar di pemerintahan dan pendidikan. Pelajaran Bahasa Indonesia telah diajarkan kepada para siswa sejak di bangku sekolah dasar.
Sebagian besar penduduk Kalimantan Tengah terdiri atas suku bangsa Dayak.Suku ini terdiri dari atas beberapa subsuku bangsa.Mereka memiliki beberapa subsuku bangsa mereka memiliki beberapa bahasa daerah.Bahasa Dayak Ngajuadalah bahasa Dayak yang paling  luas digunakan di Kalimantan Tengah, terutama di daerah sungai Kahayan dan Kapuas. Bahasa Dayak Ngaju terbagi dalam berbagai dialek seperti bahasa Dayak Katingan dan Ruangan. Selain itu bahasa Ma’anyan di daerah aliran sungai Barito dan Ot Danom oleh suku Dayak Ot Danom di Hulu Sungai Kahayan dan Kapuas.
Bahasa yang yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa banjar.Hal ini dikarenakan memiliki kedekatan geografis dengan daerah Kalimantan Selatan yang mayoritas dihuni oleh suku (orang) Banjar, dan cukup banyak orang Banjar yang merantau ke Kalimantan Tengah.Bahasa lainnya adalah bahasa Jawa, bahasa Batak, dan sebagainya yang dibawa para pendatang.
Menurut Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Tengah, bahasa daerah (lokal) terdapat di sebelas DAS meliputi sembilan bahasa dominan dan tiga belas bahasa minoritas. Sembilan bahasa dominan yaitu bahasa: Melayu, Banjar, Ngaju, Maanyan, Ot Danom, Katingan, Bakumpai, Tamuan, Sampit. Tiga belas bahasa Minoritas yaitu: Mentaya, Pembuang, Dayak Bara Injey, Balai, Bulik, Kadoreh, Mendawai, Waringin, Dusun Bayan, Dusun Tawoyan, Dusun Lawangan, Dayak Barean.[16]
d.      Upacara adat
Upacara di sini tidak dapat dipisahkan dari agama dan kepercayaan yang dinut oleh masyarakat Kalimantan Tengah.Diantaranya yaitu:
1)      Wadian
Upacara adat suku Dayak (Dusun, Maanyan, lawangan, Bawo) dalam rangka pengobatan terhadap orang sakit. Upacara wadian berlangsung selama satu minggu lebih, jenis wadian antara lain wadian Pangunraun (Pangunraun Jatuh, Pangunraun Jawa), Wadian Dapa, Wadian Tapa Unru, Wadian Bawo, Dan Wadian Bulat.
2)      Adat rukun kematian kaharingan
Jenis adat ini meliputi Ngalangkang, Nambak, Ngatet Panuk, Wara, wara Nyalimbat, Ijambe, Bontang, Kedaton, Manenga Lewu, dan Marabia. Hanya boleh dilaksanakan dari bulan Mei sampai bulan September setiap tahun kecuali untuk Kaharingan Lawangan yang upacara kematiannya disebut “Wara”.
3)      Upacara adat tiwah
Tujuan iwah adalah mengantarkan arwah orang yang telah meninggal dunia ke Lewu Tatau atau ke Lewu Liau, yaitu tempat tujuan akhir sempurna bersama Ranying Hatalla (Tuhan).Ritual tiwah memakan waktu selama dua bulan.
4)      Mamapas lewu
Mamafas lewu merupakan manifestasi tatanan kehidupan dalam berinteraksi dengan komunitas sesama.Kegiatan ini bertujuan membersihkan alam dan lingkungan hidup (petak danum) beserta segala isinya dari berbagai sengketa, bahaya sial, wabah penyakit, menciptakan suasana panas menjadi dingin dan gerah menjadi sejuk.
5)      Manetek kayu
Tradisi memperlihatkan kemampuan, keterampilan dan kekuatan pria Dayak dalam menggunakan pahera untuk bisa bertahan hidup.Sama nilainya dengan kemampuan menyumpit, memainkan Mandau maupun tradisi lainnya.[17]
Jadi, contoh kearifan lokal yang ada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sangat beragam seperti rumah adat, tari tradisional, bahasa daerah, dan upacara adat. Adapun makna dari kearifan lokal tersebut tergantung dari daerah masing-masing.
BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
1.      Kearifan berarti kebijaksanaan atau cendikia, sedangkan lokal berarti setempat atau daerah dan Nusantara adalah sebutan untuk bagi seluruh wilayah Kepulauan Indonesia.Jadi, kearifan lokal nusantara adalah kebijaksanaan yang berasal dari kebudayaan masyarakat setempat yang berada di Nusantara.
2.      Contoh kearifan lokal Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sangat beragam seperti rumah adat, tari tradisional, bahasa daerah, dan upacara adat. Adapun makna dari kearifan lokal tersebut tergantung dari daerah masing-masing.


DAFTAR PUSTAKA

Elisa, Nilai-nilai Kearifan Lokal. Yogyakarta: Universitas gajah Mada, tanpa tahun.
Jauhari Ali,Muhammad.Mengenal Kearifan Lokal di Kalimantan. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Achmad Rafieq, Norginayuwati. Kearifan budaya lokal dalam pemanfaatan lahan lebak untuk pertanian di Kalimantan Selatan.tanpa kota: tanpa penerbit, tanpa tahun.
Tim Penyusun.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Usop,Tari Budayanti.Kearifan Lokal dalam Arsitektur Kalimantan Tengah yang Berkesinambungan.Tanpa kota: Tanpa Penerbit, 2011.




[1]Norginayuwati dan Achmad Rafieq.Kearifan budaya lokal dalam pemanfaatan lahan lebak untuk pertanian di Kalimantan Selatan, (tanpa kota: tanpa penerbit, tanpa tahun), h. 30.
[2]Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 89.
[3]Tim Penyusun, Kamus Besar…872
[4]Tim Penyusun, Kamus Besar…1009
[5]Elisa, Nilai-nilai Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Universitas gajah Mada, tanpa tahun),  h. 1.
[6]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal di Kalimantan, (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017), h. 3-4.
[7]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal … h. 7-9.
[8]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal… h. 11-19.
[9]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal … h. 21-43.
[13]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal… h. 34.
[14]Tari Budayanti Usop, Kearifan Lokal dalam Arsitektur Kalimantan Tengah yang Berkesinambungan, (Tanpa kota: Tanpa Penerbit, 2011), Jurnal, Vol. 6, No 1 h. 27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar