BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia
adalah Negara kepulauan yang memiliki bermacam- macam suku, kebudayaan dan
bangsa.Kebudayaan yang beraneka ragamtersebut tentu dapat terjadi karena
perbedaan suku yang terlihat pada setiap wilayahdan daerah di Indonesia.Tentu
saja ini menjadi sebuah tradisi yang turun-temurun sejak dahulu.Kebudayaan
ini tentu saja harus kita pelihara dan lestarikan keberadaannya, inimerupakan
bekal untuk generasi yang akan datang agar mereka juga bisa mengetahui danmelihat
keindahan, keunikkan dan keaslian dari kebudayaan tersebut.
Dalam suatu masyarakat terdapat suatu kearifan budaya. Kearifan
budaya suatu masyarakat merupakan kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang
berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil
pengamatan selama suatu kurun waktu yang lama.
Kearifan tersebut banyak berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat
yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitaan dengan struktur lingkungan;
bagaimana lingkungan berfungsi; bagaimana reaksi alam terhadap
tindakan-tindakan manusia, serta hubungan-hubungan (yang sebaiknya tercipta)
antara manausia (masyarakat) dengan lingkungan alamnya.[1]
Diantara sekian banyak kearifan budaya lokal yang terdapat di
Indonesia. Pada makalah ini penulis akan membahas kearifan lokal yang ada di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan kearifan lokal Nusantara?
2.
Bagaimana
contoh dan makna kearifan lokal di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui dimaksud dengan kearifan lokal Nusantara?
2.
Bagaimana
contoh dan makna kearifan lokal di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kearifan Lokal Nusantara (Kalimantan Selatan Dan Kalimantan Tengah)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kearifan berarti
kebijaksanaan atau kecendekiaan.[2]Sedangkan
lokal berarti setempat, terjadi (berlaku, ada, dan sebagainya) di satu tempat
saja, tidak merata.[3]Serta
Nusantara berarti sebutan bagi seluruh wilayah Kepulauan Indonesia.[4]
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan
lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily,
local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan.
Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai
gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.[5]
Jadi, kearifan lokal nusantara adalah kebijaksanaan yang berasal
dari kebudayaan masyarakat setempat yang berada di Nusantara.
B.
Contoh dan Makna Kearifan Lokal Di Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah
1.
Kalimantan Selatan
a.
Rumah
adat
1)
Rumah
Bubungan Tinggi
Rumah adat ini adalah rumah khas suku Banjar.Dahulu rumah ini menjadi
pilihan kediaman Sultan Banjar.Rumah bubungan tinggi terbuat dari kayu ulin
atau kayu besi.Kayu ini terkenal sangat kuat. Kayu ini dapat bertahan sampai
dengan ratusan tahun dan antirayap..
Lantai rumah ini tidak langsung menempel di tanah.Ada tiangtiang
penyangga untuk menopang lantainya.Jarak antara tanah dan lantainya kurang
lebih dua meter.Anak tangga untuk menaikinya selalu ganjil.Terasnya dikelilingi
pagar berupa susunan papan berukir kembang bogam atau bentuk geometris.Pagar
ini dinamakan kandang rasi.Atapnya terbuat dari kepingan papan tipis-tipis.
Ukuran rumah ini, baik tinggi, panjang, maupun lebarnya,
berbeda-beda antara rumah satu dengan lainnya.Perbedaan ini karena pada waktu
itu ukurannya ditentukan oleh ukuran depa atau jengkal pemilik rumah
masing-masing.Pada zaman dahulu, rumah jenis ini tidak dicat. Warnanya
sesuai dengan warna kayu ulin yang
digunakan. Kayu ini jika masih baru berwarna coklat kekuningan.Setelah lama,
warnanya menjadi coklat kehitaman.
Adapun makna dari rumah ini melambangkan perpaduan dunia atas dan dunia
bawah. Ukiran burung enggang yang disamarkan pada bagian ujung garis lintang
atap rumah ini melambangkan alam atas.Sementara ukiran naga yang juga
disamarkan melambangkan alam bawah.Ukiran naga ini terdapat di bagian ujung
penampih, yakni papan yang mengelilingi bagian bahwa rumah.Ukiran-ukiran itu
sengaja disamarkan.Alasannya karena dalam ajaran Islam yang mereka anut tidak
dibolehkan mengukir makhluk bernyawa secara jelas.Wujud rumah ini secara
keseluruhan melambangkan pohon kehidupan.Pohon ini memiliki makna keseimbangan
dan keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan
Tuhan Yang Maha Esa.[6]
2)
Rumah
Gajah Baliku
Rumah
ini juga termasuk rumah tradisional suku Banjar.Pada masa Kesultanan Banjar,
rumah ini merupakan tempat tinggal para saudara sultan.Sebenarnya bentuk
fisiknya mirip dengan rumah bubungan tinggi.
Perbedaan
antara rumah bubungan tinggi dan rumah ini terletak pada ruang tamu kedua jenis
rumah.Pertama, pada ruang tamu rumah bubungan tinggi, lantainya berjenjang,
sedangkan pada rumah ini lantainya tidak berjenjang.Perbedaan ini karena rumah
bubungan tinggi adalah bangunan istana yang didiami sultan.Saat menghadap raja
tentu ada tingkatan ruangan sesuai dengan jabatan dari tiap-tiap tamu yang
hadir.
Kedua,
pada rumah bubungan tinggi, atap ruang tamu tidak memakai kuda-kuda, sedangkan
rumah gajah baliku memakai kuda-kuda.Rumah jenis ini dulunya juga berbahan kayu
ulin dan tidak dicat.Sementara itu, bangunan baru yang menggunakan bentuk jenis
rumah ini sudah dicat sesuai selera.Bangunan rumah ini menghadap ke arah sungai
sebagai bagian dari kebudayaan sungai suku Banjar.Terdapat pula seni ukir khas
suku Banjar di dalamnya.
Makna
dari rumah ini yaitu secara keseluruhan bangunannya mengandung makna
keseimbangan dan keharmonisan antara sesama manusia, termasuk antara sultan dan
saudara-saudaranya, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha
Esa.
3)
Rumah
Palimasan
Rumah
ini masih termasuk rumah tradisional suku Banjar.Bahan dasarnya adalah kayu
ulin yang lebih besar.Salah satu ciri utama rumah ini adalah semua bagian atap
sirapnya menggunakan atap model perisai.Penggunaan atap model ini membentuk
atap berwujud limas.Karena itulah, rumah ini dinamakan rumah palimasan.
Model
awal bangunan induknya berbentuk segi empat yang memanjang.Dalam
perkembangannya, bagian agak belakang bangunan induk ini mendapatkan tambahan
ruang pada sisi sampingnya.Ruang tambahan yang disebut anjung ini pun
beratapkan limas.Pada zaman dulu, rumah ini tidak dicat dan menghadap ke arah
sungai.Warna kayu ulinlah yang menjadi warna alaminya dengan dihiasi seni ukir
khas suku Banjar. Kini rumah palimasan yang tersisa atau bangunan gedung yang
berbentuk rumah palimasan dicat sesuai
dengan selera pemilik masing-masing.
Pada
masa Kesultanan Banjar, bangunannya didiami oleh bendaharawan.Tugas
bendaharawan ini memelihara emas dan perak kesultanan.Rumah dengan bahan yang
kuat ini bermakna kehati-hatian dan keteraturan dalam menjaga harta benda yang
dimiliki.[7]
4)
Rumah
Balai Bini
Rumah
tradisional suku Banjar yang satu ini pada masa Kesultanan Banjar didiami oleh
para putri sultan atau warga sultan dari pihak perempuan.Bangunan induknya yang
segi empat memanjang memakai atap model perisai.Bentuk bangunan induk ini
biasanya dinamakan rumah gajah.Atap rumah yang menyerupai perisai ini bermakna
perlindungan terhadap wanita.
Bagian
bangunan di samping kiri dan kanan bangunan induk tersebut dinamakan
anjung.Anjung memakai atap sengkuap. Atap model ini disebut dengan nama atap
pisang sasikat. Arti pisang sasikat adalah pisang sesirir.Dinamakan demikian
karena ruang bagian kanan dan kiri yang beratap pisang sasikat ini menyerupai
sesisir pisang.
Pada
dinding depan rumah terdapat satu pintu masuk. Terdapat jendela kanan dan kiri
di antara pintu ini.Terasnya diberi pagar kandang rasi seperti pada rumah
bubungan tinggi. Rumah ini diberi atap yang menutupi bagian atas emper depan.
Atap ini dinamakan atap sindang langit yang tidak diberi plafon.Di bagian
terasnya ada empat buah pilar penyangga emper depannya.
Semua
model atap rumah ini menggunakan sirap.Rumah ini juga tidak dicat seperti
rumah-rumah tradisional suku Banjar lainnya.Warna kayu ulinlah yang menjadi
warna aslinya dengan dihiasi seni ukir khas suku Banjar.Rumah ini menghadap ke
arah sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai di Kalimantan Selatan.Pada
perkembangannya, bangunan gedung modern yang memakai model rumah ini dicat
sesuai selera.
5)
Rumah
Tadah Alas
Rumah
ini juga termasuk salah satu rumah tradisional suku Banjar. Disebut tadah alas
karena ada satu lapis atap perisai sebagai kanopi di bagian paling depan. Atap
perisai inilah yang disebut tadah alas.Sebenarnya kanopi atau tadah alas ini
sengaja ditambahkan sebagai pengembangan dari rumah balai ini.
Rumah
ini berbahan dasar kayu ulin.Bangunan induknya juga berbentuk segi empat
memanjang.Bagian depannya beratap perisai. Atap bagian depan ini ditumpangi
atap perisai lainnya mulai dari beranda paling atas atau ruangan setengah
terbuka yang dinamakan surambi pamedangan. Ruang samping atau disebut anjung
ada yang ditutupi atap sengkuap pisang sasikat dan ada juga yang ditutupi atap
perisai juga.Semua atap berupa sirap dengan bahan kayu ulin.
Semula
rumah ini juga tidak dicat.Sesuai perkembangan zaman, ada yang dicat dengan
warna-warna sesuai dengan selera pemiliknya.Rumah ini menghadap ke sungai
dengan dihiasi ukiran khas suku Banjar.
Tadah
alas atau kanopi ini mengandung makna keadilan secara menyeluruh.Keadilannya
terlihat jelas dengan adanya perlindungan bagian induk rumah dengan atap utama
dan perlindungan bagian depannya dengan atap tadah alas.
6)
Rumah
Gajah Manyusu
Rumah
gajah manyusu adalah sebuah nama kolektif. Nama kolektif ini untuk menyebut
semua bentuk rumah tradisional suku Banjar yang bangunan induknya beratap
perisai buntung.Dalam bahasa banjar disebut atap hidung bapicik.
Pada
masa Kesultanan Banjar, rumah ini memang dihuni oleh keturunan raja di garis
utama.Mereka disebut warit sultan atau bubuhan gusti yang merupakan para calon
pengganti sultan. Di bagian terasnya ada
empat buah pilar penyangga emper depan. Empat pilar ini dapat diganti dengan
kontruski balok kuda-kuda penyangga atap emper rumah.
Pada
zaman dulu, bahan dasar rumah ini memakai kayu ulin, baik tiang penyangga,
lantai, dinding, maupun atapnya.Warna dasarnya sesuai warna kayu ini.Setelah
mengenal cat, sebagian rumah ini ada yang dicat sesuai dengan selera
pemiliknya, misalnya, warna cokelat.Ada hiasan berupa seni ukir Banjar dalam
rumah ini.Bangunan rumah ini juga menghadap ke arah sungai sebagai bagian dari
kebudayaan sungai Suku Banjar.
Makna
dari rumah ini menggunakan atap pada bagian bubungannya menyerupai perisai,
tetapi seakan-akan terpancung atau terpotong sebagian di depannya.Dibuat seakan
terpotong seperti itu mengesankan atap yang belum utuh.Ini menyerupai tanaman
yang belum tumbuh sempurna.Atap yang belum utuh ini mengandung makna belum
menjadi sultan yang sah.
7)
Rumah
Balai Laki
Rumah
tradisional suku Banjar ini dulu dihuni para penggawa mantri dan para prajurit
pengawal keamanan Kesultanan Banjar.
Bentuk atap bangunan depan atau induknya memakai bubungan atap yang
menyerupai pelana kuda. Atap ini disebut atap pelana. Bahannya sirap yang
berupa kepingan papan tipis-tipis dari kayu ulin
Awalnya
bangunan induk rumah ini berbentuk segi empat yang memanjang.Bentuk bangunan
induk atau pokok ini disebut rumah laki.Lama-kelamaan bangunannya mendapatkan
tambahan berupa ruangan samping.
Terdapat
jendela di samping kiri dan kanan pintu ini.Beranda dalam ditopang empat
pilar.Rumah ini dulunya tidak bercat. Warnanya sesuai dengan warna kayu ulin sebagai bahan
bangunannya. Kini, rumah ini sudah jarang ditemukan.Rumah ini juga berhiaskan
seni ukir khas suku Banjar.Bangunannya pun menghadap ke arah sungai sebagai
bagian dari kebudayaan sungai.
Rumah
ini memiliki satu pintu masuk di bagian depan. Satu pintu ini maknanya berjiwa
kesatria yang gagah berani, cerdas, dan sigap, yaitu tidak mau melarikan diri
dari pintu belakang.
8)
Rumah
Palimbangan
Pada
masa Kesultanan Banjar, rumah tradisional suku Banjar ini adalah hunian para
tokoh agama Islam dan para alim ulamanya.Bangunan ini bahan utamanya adalah
kayu ulin. Bentuk atap bangunan depan atau induknya juga memakai bubungan atap
pelana. Di bagian atas teras depannya ditutup dengan atap sindang langit. Atap
teras depan ini biasanya dibuat melebar ke teras samping sampai di depan
anjung. Atapnya terbuat dari kepingan
papan tipis atau sirap yang berasal dari kayu ulin juga.
Ada
seni ukir khas suku Banjar berupa motif anak catur yang di kiri dan kanannya
terdapat ukiran jengger ayam, lipan, atau paku alai. Ukiran ini disebut jamang,
letaknya tepat di bagian pucuk rumah.Jamang ini merupakan mahkota
bubungannya.Rumah ini juga menghadap ke arah sungai, sebagai bagian dari
kebudayaan sungai suku Banjar.
Rumah
ini mengandung makna kuatnya agama Islam dan penghormatan terhadap ulama di
Kesultanan Banjar.Selain itu, beranda rumah ini ditopang empat pilar.Empat
pilar ini masing-masing merupakan simbol dalam agama Islam.Pilar pertama
menyimbolkan syariat, yakni hukum yang mengatur seluruh kehidupan manusia.Pilar
kedua adalah simbol tarekat, yaitu jalan.Maksudnya menjalankan syariat secara
benar. Pilar ketiga merupakan simbol
hakikat, inti sari, atau dasar agama Islam. Pilar keempat simbol
makrifat, yaitu tingkat penyerahan diri kepada Allah Swt.[8]
9)
Rumah
Cacak Burung
Rumah
jenis ini adalah hunian rakyat biasa.Bangunan induknya memanjang dengan beratap
pelana.Ruang dalam yang ada di belakang dan ruang samping kiri dan kanan ditutupi
atap limas.
Atap
yang digunakan untuk rumah ini berupa sirap dan ada pula atap rumbia.Atap
rumbia berbahan daun rumbia kering yang disusun dengan sangat rapat.Kini sudah
sangat jarang ditemukan rumah seperti ini.Rumah ini juga berhiaskan seni ukir
khas suku Banjar seperti rumah lainnya.Bangunannya menghadap ke arah sungai
pula.
Kedua
atap, yakni atap pelana dan atap limas membentuk tanda tambah (+).Tanda ini
merupakan simbol bentuk cacak burung.Simbol ini adalah tanda magis penolak
bala.Bentuk tanda tambah (+) inilah yang menyebabkan rumah ini disebut rumah
cacak burung.
10)
Rumah
Lanting
Bangunan
rumah ini mengapung di atas air, yakni di sungai atau di rawa dengan pondasi
rakit. Hal inilah yang menyebabkan rumah ini disebut rumah rakit.Bagian pondasi
terdiri atas susunan batang-batang pohon besar.Biasanya ada tiga batang pohon
besar yang dipakai sebagai pondasinya.Dinding rumah ini biasanya dibuat dengan
menyusun kayu lanan secara mendatar.Atapnya berupa atap pelana.Titian digunakan
untuk menghubungkan rumah ini dengan daratan.Bahan titian ini bisa dari kayu
atau bambu.Bahan atapnya bisa berupa sirap, atap rumbia, atau dari seng.
Bangunannya
yang mengapung bermakna kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya, yakni
lingkungan air.Buktinya manusia mampu
hidup di atas air dengan menggunakan rumah lanting ini.
11)
Rumah
Joglo Gudang atau Rumah Joglo Banjar
Rumah
ini juga termasuk rumah tradisional suku Banjar.Bangunannya beratap limas
dengan disambung atap sindang langit pada bagian depannya.Atap bagian depannya
ini tanpa plafon.Di bagian belakangnya disambung dengan atap sengkuap yang
disebut hambin awan.Bangunannya bertiang tinggi.Bagian bawahnya bisa menjadi
gudang tempat menyimpan barang.
Rumah
ini mengandung makna rendah hati dan gemar berbagi.Makna ini ditandai dengan
atap rumah yang bagian tepinya rendah. Pemakaian kata joglo pada nama rumah ini
karena bangunannya menyerupai rumah joglo khas suku Jawa. Adapun alasan
pemakaian kata gudang karena bagian kolongnya digunakan sebagai gudang
menyimpan hasil hutan, karet, dan lainnya yang merupakan komoditas zaman dulu.Rumah
ini juga dihiasi seni ukir khas suku Banjar.Arah bangunannya juga menghadap
sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai di Kalimantan Selatan.
12)
Rumah
Bangun Gudang
Atapnya
berbentuk perisai atau atap gajah. Beranda tempat bersantai tergolong kecil
karena bagian kanan dan kirinya diubah menjadi dinding depan. Beranda yang
kecil ini bermakna bermakna kerja keras atau tidak bermalas-malasan.Pada
terasnya tidak terdapat empat pilar penyangga. Rumah ini memiliki tiga pintu
masuk, yakni satu dari tengah, satudari
samping kiri, dan satu dari samping kanan beranda. Bahan bangunannya terbuat
dari kayu ulin. Lantainya disangga kayukayu setinggi setengah meter dari
permukaan tanah. Atap rumah ini umumnya menggunakan sirap.
Terdapat
seni ukir khas suku Banjar berupa motif anak catur yang di kiri dan kanannya
ada ukiran jengger ayam, lipan, atau paku alai. Ukiran ini disebut jamang,
letaknya tepat di bagian pucuk rumah.Jamang ini merupakan mahkota bubungannya.
13)
Rumah
Balai
Rumah
ini merupakan rumah khas sub-subsuku Dayak yang berada di sepanjang Pegunungan
Meratus.Sub-subsuku Dayak ini juga merupakan bagian dari rumpun-rumpun Dayak
tersebut di atas.Misalnya, ada yang termasuk rumpun Ot Danum dan ada yang masuk
rumpun Iban.Bangunan rumah ini berukuran lebar antara 10 sampai 15 meter dan
panjang mencapai 20 sampai 30 meter.Lantainya tidak langsung menyentuh
tanah.Ada tiang-tiang penyangga setinggi dua sampai tiga meter.[9]
b.
Tari
tradisional
1)
Tari
Sinoman Hadrah Rudat
Tarian
ini merupakan salah satu bentuk paduan seni tari dan musik khas Banjar yang
paling dikenal.Sinoman hadrah rudat bersumber dari budaya yang dibawa oleh
pedagang dan pendakwah Islam dari Arab dan Persia.
Kesenian
ini sangat dipengaruhi nilai-nilai Islam. Puja dan puji kepada Allah SWT serta
Rasul Muhammad SAW, mengisi syair dan pantun yang dilagukan bersahutan dalam
irama Qasidah yang merdu, para penarinya melakukan gerakan dinamis dengan
dilindungi payung ubur-ubur. Payung ini merupakan lambang keagungan dalam
kehidupan tradisional di Indonesia.Sinoman hadrah rudat biasanya ditampilkan
untuk pengantin banjar dan menyambut kedatangan tamu.
2)
Tari
Hudo
Tari
ini menggambarkan kedatangan utusan dewa ke dunia untuk mengusir roh-roh jahat
yang menggangu ketentraman hidup manusia.Melalui tarian ini diperoleh gambaran
bahwa suku bangsa Dayak mempercayai adanya makhluk halus yang menguasai
kehidupan di dunia.
3)
Tari
Giring-Giring
Tari
ini merupakan tari pergaulan yang biasanya melibatkan para tamu pada suatu
pesta adat penyambutan untuk ikut bergembira.
4) Tari
Baksa Kembang
Tarian ini juga sering dipentaskan pada acara-acara
pernikahan ataupun acara adat lainnya.Saat ini tari Baksa Kembang masih sering
dipakai pada saat acara penyambutan tamu yang dihormati. Tari baksa kembang
berasal dari kata baksa yang berarti kelembutan, artinya bentuk kelembutan tuan
rumah dalam penyambutan tamu agung dengan cara memberikan rangkaian bunga oleh
penari kepada tamu yang dihormati.Penari tari Baksa selalu ganjil yang memberikan
rangkaian bunga (mawar dan melati) yang disebut masyarakat setempat dengan
kembang Bogam.[10]
c.
Bahasa
daerah
Bahasa masyarakat pada umumnya adalah bahasa Banjar. Bahasa Banjar banyak dipengaruhi oleh
bahasa Melayu, Jawa, dan bahasa Dayak.Bahasa Banjar sering juga pula disebut
bahasa Melayu Banjar terdiri atas dua kelompok dialek, yaitu bahasa Banjar Huludan bahasa
Banjar Kuala.
Bahasa Banjar Hulu merupakan dialek
asli yang dipakai penduduk yang tinggal di wilayah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai
Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Tabalong. Daerah
pahuluan dahulu mempakan pusat kerajaan Hindu, tempat asal mula perkembangan
bahasa Melayu Banjar.Dialek bahasa Banjar Hulu dituturkan dengan logat yang
kental (ba-ilun).Dialek bahasa Banjar Hulu juga dapat ditemukan di
kampung-kampung (handil) yang penduduknya berasal dari Hulu Sungai
seperti di Kecamatan Gambut, Aluh Aluh, dan Tamban.Ketiga kecamatan tersebut
berada di wilayah Banjar Kuala.
Dialek bahasa Banjar Kuala digunakan
orang yang tinggal di wilayah Banjar Kuala.Wilayah tersebut pada masa sekarang
meliputi Kabupaten Banjar, Barito Kuala, Tanah Laut, Kota Banjarmasin, dan
Banjarbaru.Pemakaiannya meluas hingga wilayah pesisir bagian tenggara
Kalimantan.Penduduk Kabupaten Tanah Bumbu dan Kota Baru bahkan sampai
Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah bercakap-cakap menggunakan dialek
ini.Bahasa Banjar Kuala dituturkan dengan logat datar tanpa intonasi
tertentu.Dialek Banjar Kuala yang asli dapat ditemukan di sekitar Kota Banjarmasin
yang merupakan daerah awal berkembangnya Kesultanan Banjar.
Bahasa Banjar juga digunakan sebagai
bahasa percakapan (lingua franca) beberapa suku bangsa di Kalimantan
Selatan.Karena kedudukannya sebagai lingua franca, penutur bahasa Melayu Banjar
lebih banyak daripada jumlah suku Banjar itu sendiri.Pemakaian bahasa Melayu
Banjar dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari di daerah ini lebih dominan
dibandingkan dengan bahasa Indonesia.Berbagai suku bangsa di Kalimantan Selatan
berusaha mempelajari bahasa Banjar.Bahasa Banjar juga mengenal tingkatan bahasa
(Jawa: unggahungguh), tetapi hanya untuk kata ganti orang.[11]
d.
Upacara
adat
Suku Banjar memiliki bebrapa upacara adat yang masih
dijalankan hingga kini. Keseluruhan upacara berisi doa dan permohonan agar
manusia selalu mendapat limpahan rahmat dan karunia Allah Swt. Selanjutnya,
manusia dijauhkan dari berbagai bencana yang tidak diinginkan. Beberapa upacara
tersebut adalah:
1)
Mandi Tian
Mandaring
Upacara
ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan pengharapan akan lahirnya
seorang bayi. Kelahiran seorang bayi umumnya dimaknai sebagai karunia Tuhan
yang amat berharga.Sewwaktu kandungan seorang ibu telah berumur tujuh bulan,
upacara Mandi Tiam Mandaring dilaksanakan.Upacara ini disebut juga dengan
istilah bapagar mayang karena tempat mandi menggunakan pagar mayang.
2)
Baayun Mulud
Pelaksanaan
upacara ini dengan meletakkan bayi yang berusia empat puluh hari di atas
ayunan.Ayunan terbuat dari tiga lapis kain.Hiasan Bungan warna warni
digantungan disekitar ayunan.Dalam upacara ini dibacakan syair, seperti syair
barzanji, syarafal anam dan syair diba’i.saat pembacaa asyrakal dikumandangkan,
anak dalam ayunan diayun secara perlahan-lahan dengan cara menarik selendang
yang diikat pada ayunan dengan maksud untuk mengambil berkah atas kemuliaan
Nabi Muhammad Saw dan rasa syukur kepada Allah Swt.
3)
Upacara adat
perkawinan
Perkawinan
adat Banjar dipengaruhi oleh ajaran Islam.Tampak jelas besarnya penghormatan
terhadap wanita.Hal itu merupakan penerapan dari ajaran Islam yang meyakini
bahwa “surge ada di bawah telapak kaki ibu” dan “wanita itu adalah tiang
Negara”.Acara demi acara semuanya berpusat di tempat atau di rumah pihak
mempelai wanita.Diantaranya, hari batatai adalah hari saat kedua mempelai duduk
bersanding setelah akad nikah.Basasarangan atau maatar kada adalah acar
keluarga mempelai pria dan wanita saling berkunjung sevara bergantian setelah
pernikahan.
4)
Upacara adat
kematian
Membantu
orang yang tertimpa musibah kematian pada masyarakat Kalimantan Selatan
merupakan suatu kewajiban yang dilakukan dengan ikhlas.Segala keperluan
biasanya ditanggung bersama secara gotong royong. Tata cara merwat orang yang
telah meninggal mengikuti hokum Islam. Setelah penguburan, biasanya dilakukan
upacara selamatan baaruh yang dilakukan dalam
beberapa tahap. Tahap pertama adalah upacara turun tanah.Acara didahului
dengan tahlil lalu do’a selamat.[12]
2.
Kalimantan Tengah
a.
Rumah
adat
1)
Huma
betang
Huma betang adalah rumah panjang khas suku Dayak Ngaju. Suku Dayak
ini termasuk dalam rumpun Ot Danum yang mendiami wilayah Kalimantan Tengah.
Rumah ini panjangnya bisa mencapai 30—150 meter.Lebarnya bisa sampai 10-30
meter.Lantainya tidak langsung menyentuh tanah.Ada tiang-tiang penyangga lantai
setinggi 3-5 meter dari permukaan tanahnya.
Rumah ini dapat dihuni oleh 100-150 jiwa.Dalam huma betang dipimpin
oleh seorang pembakas lewu atau ketua kampung sehingga rumah ini disebut pula
rumah suku.Ada sebuah tangga dan pintu masuk ke dalamnya.Ornamen khas suku
Dayak Ngaju sebagai bagian kebudayaan mereka sangat kental di rumah ini.Rumah
ini berbahan kayu ulin. Kayu ini bisa tahan sampai dengan ratusan tahun dan antirayap. Pada zaman dulu
rumah ini tidak bercat.Warnanya sesuai dengan warna kayu ulin ini.Atapnya
menggunakan bahan sirap dengan jenis atap pelana yang memanjang.Di bagian
tengah atas atap itu ada lagi atap pelana tambahan.Terdapat kayu membentuk
huruf V tepat di setiap ujung bubungannya.[13]
Betang merupakan tempat tinggal permanen untuk beberapa generasi,
dibangun di desa oleh beberapa kepala keluarga yang masih memiliki ikatan
pertalian darah/keturunan atau rumah yang menampung banyak keluarga di
dalamnya. Walaupun rumah Betang menampung banyak keluarga yang ditampung yang
hidup dalam satu atap, tetapi mereka memiliki pemimpin atau kepala adat atau
panglima perang yang dapat melindungi mereka dari serangan musuh, yaitu seperi
Betang Buntoi di pimpin oleh seorang Singa Djala, Betang Tumbang Korik di
pimpin oleh Singa Kiting, Betang Tumbang Anoi dipimpin oleh Damang Batoe, dan
lain-lain.
Adapun
makna dari Huma Betang ini ialah secara filosofis sebutan Betang juga dapat
diartikan sebagai suatu perwujudan budaya hidup bersama dalam satu atap,
kegotong royongan, saling pengertian dalam naungan hukum adat yang jelas.Ini
adalah suatu gambaran yang nyata dan logis dari suatu peradaban tradisional
dimana pada waktu itu keadaan lingkungan fisik yang masih ganas dan
buas.Kebersamaan adalah suatu perwujudan kekuatan yang memungkinkan untuk
pertahanan dan keberlangsungan.[14]
2)
Lewu
Hante
Lewu
hante merupakan rumah panjang tradisional suku Dayak Maanyan.Suku Dayak ini
banyak mendiami daerah Kalimantan Tengah. Mereka termasuk dalam rumpun Ot
Danum. Bahan utama bangunan rumah ini adalah kayu ulin.Jarak antara lantai dan
permukaan tanah sekitar 3-5 meter.Rumah ini hanya memiliki tangga tunggal untuk
memasukinya.Atapnya menggunakan atap pelana yang memanjang.Di atas atap ini
tidak ada atap pelana tambahan.Bahan atap terbuat dari sirap.
Di
bagian mahkota atap terdapat ukiran bermotif burung enggang dan naga.Seni ukir
ini merupakan bagian dari kebudayaan dan kepercayaan mereka.Ukiran burung
enggang melambangkan dunia atas, sedangkan ukiran naga melambangkan dunia
bawah.
b.
Tari
tradisional
1)
Tari
hugo dan huda
Tarian
hugo dan huda ini merupakan tarian yang termasuk dalam ritual agar para dewa
menurunkan hujan ke bumi. Tarian ini biasanya dilakukan apabila telah
berlangsung musim kemarau yang cukup lama.
2)
Tari
putri malawen
Tari
ini tepatnya berada di daerah Barito.Tarian ini pada zaman kerajaan dahuku
ditampilkan pada caara-acara besar kerajaan dan ditarikan oleh seorang gadis
yang berasal dari sekitar danau Malawen di Barito.
3)
Tari
tuntung tulus
Tari
tuntung tulus adalah tarian tradisional yang berasal dari Kalimantan
Tengah.Tarian ini ditampilkan pada acara perlombaan atau event tertentu di
Kalimantan.
4)
Tari
giring-giring
Tari
giring-giring disebut juga dengan tari gangereng adalah tari tradisional yang
biasanya ditampilkan untuk menyambut kedatangan tamu di Barito.Aksesoris yang
digunakan para penari yaitu giring-giring terbuat dari bambu tipis (telang)
yang diisi dengan biji “piding” sehingga menghasilkan suara yang ritmis dengan
alunan kangkanong (gamelan) oleh penarinya.
5)
Tari
Manasai
Tari
Manasai adalah tarian pergaulan pemuda dan pemudi masyarakat Dayak di daerah
Kalimantan tengah.Tarian ini dilakukan oleh beberapa orang peserta, pria dan
wanita yang berdiri berseling-seling antara pria dan wanita dalam satu
lingkaran.Tarian Manasai dari Kalimantan Tengah dimulai dengan posisi semua
penari menghadap ke dalam lingkaran, kemudian berputar kearah kanan, sambil
melakukan gerak maju bergerak berlawanan arah jarum jam.Kemudian menghadap ke
arah luar lingkaran, berputar lagi ke arah kiri sambil melakukan gerak maju. Tidak
ada batasan usia dalam tarian ini. Siapapun boleh bergabung.
6)
Tari
Belian Bawo
Tari
ini dipertunjukkan untuk melakukan pengobatan, menolak penyakit, membayar nazar
dan sebagainya.
7)
Tari
Balean Dadas
Tari
ini diprgunakan untuk meminta kesebuhan kepada tuhan bagi masyarakat yang
sakit. Para penari Balean Dadas memakai pakaian adat dauak yang khas penuh
warna seperti hitam, putih, merah, hijau dan kuning melakukan tarian ini untuk
memohon kesembuhan kepada Ranying Hatala langit (Tuhan) bagi mereka yang sakit.
Selain itu, biasanya seorang dukun perempuan atau Balean dadas ikut dalam
tarian ini.
8)
Tari
Manganjan
Tari
ini biasanya dilakukan oleh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan untuk
melakukan ritual tertentu seperti upacara tiwah atau upacara lain. Tiwah
sendiri merupakan prosesi menghantarkan
roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara
menyucikan dan memindahkan sisa jasad menuju sebuah tempat yang bernama
sanding.[15]
c.
Bahasa
daerah
Masyarakat
Kalimantan Tengah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Sebagian bahasa masyarakat Kalimantan Tengah (sekitar 60 %) terutama di daerah
perkotaan telah mengenal dan menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi
terutama sebagai bahasa pengantar di pemerintahan dan pendidikan. Pelajaran
Bahasa Indonesia telah diajarkan kepada para siswa sejak di bangku sekolah
dasar.
Sebagian
besar penduduk Kalimantan Tengah terdiri atas suku bangsa Dayak.Suku ini
terdiri dari atas beberapa subsuku bangsa.Mereka memiliki beberapa subsuku bangsa
mereka memiliki beberapa bahasa daerah.Bahasa
Dayak Ngajuadalah bahasa Dayak yang paling luas digunakan di Kalimantan Tengah, terutama
di daerah sungai Kahayan dan Kapuas. Bahasa Dayak Ngaju terbagi dalam berbagai
dialek seperti bahasa Dayak Katingan dan Ruangan. Selain itu bahasa Ma’anyan di daerah aliran sungai Barito
dan Ot Danom oleh suku Dayak Ot Danom di Hulu Sungai Kahayan dan
Kapuas.
Bahasa
yang yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa banjar.Hal ini dikarenakan
memiliki kedekatan geografis dengan daerah Kalimantan Selatan yang mayoritas
dihuni oleh suku (orang) Banjar, dan cukup banyak orang Banjar yang merantau ke
Kalimantan Tengah.Bahasa lainnya adalah bahasa Jawa, bahasa Batak, dan
sebagainya yang dibawa para pendatang.
Menurut
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Tengah, bahasa daerah (lokal)
terdapat di sebelas DAS meliputi sembilan bahasa dominan dan tiga belas bahasa
minoritas. Sembilan bahasa dominan yaitu bahasa: Melayu, Banjar, Ngaju,
Maanyan, Ot Danom, Katingan, Bakumpai, Tamuan, Sampit. Tiga belas bahasa
Minoritas yaitu: Mentaya, Pembuang, Dayak Bara Injey, Balai, Bulik, Kadoreh,
Mendawai, Waringin, Dusun Bayan, Dusun Tawoyan, Dusun Lawangan, Dayak Barean.[16]
d.
Upacara
adat
Upacara di sini tidak
dapat dipisahkan dari agama dan kepercayaan yang dinut oleh masyarakat
Kalimantan Tengah.Diantaranya yaitu:
1) Wadian
Upacara
adat suku Dayak (Dusun, Maanyan, lawangan, Bawo) dalam rangka pengobatan
terhadap orang sakit. Upacara wadian berlangsung selama satu minggu lebih,
jenis wadian antara lain wadian Pangunraun (Pangunraun Jatuh, Pangunraun Jawa),
Wadian Dapa, Wadian Tapa Unru, Wadian Bawo, Dan Wadian Bulat.
2) Adat
rukun kematian kaharingan
Jenis
adat ini meliputi Ngalangkang, Nambak, Ngatet Panuk, Wara, wara Nyalimbat,
Ijambe, Bontang, Kedaton, Manenga Lewu, dan Marabia. Hanya boleh dilaksanakan
dari bulan Mei sampai bulan September setiap tahun kecuali untuk Kaharingan
Lawangan yang upacara kematiannya disebut “Wara”.
3) Upacara
adat tiwah
Tujuan iwah adalah mengantarkan arwah
orang yang telah meninggal dunia ke Lewu Tatau atau ke Lewu Liau, yaitu tempat
tujuan akhir sempurna bersama Ranying Hatalla (Tuhan).Ritual tiwah memakan
waktu selama dua bulan.
4)
Mamapas
lewu
Mamafas lewu merupakan manifestasi tatanan kehidupan dalam
berinteraksi dengan komunitas sesama.Kegiatan ini bertujuan membersihkan alam
dan lingkungan hidup (petak danum) beserta segala isinya dari berbagai
sengketa, bahaya sial, wabah penyakit, menciptakan suasana panas menjadi dingin
dan gerah menjadi sejuk.
5)
Manetek
kayu
Tradisi memperlihatkan kemampuan, keterampilan dan kekuatan pria
Dayak dalam menggunakan pahera untuk bisa bertahan hidup.Sama nilainya dengan
kemampuan menyumpit, memainkan Mandau maupun tradisi lainnya.[17]
Jadi, contoh kearifan lokal yang ada
di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sangat beragam seperti rumah adat,
tari tradisional, bahasa daerah, dan upacara adat. Adapun makna dari kearifan
lokal tersebut tergantung dari daerah masing-masing.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
1.
Kearifan
berarti kebijaksanaan atau cendikia, sedangkan lokal berarti setempat atau
daerah dan Nusantara adalah sebutan untuk bagi seluruh wilayah Kepulauan
Indonesia.Jadi, kearifan lokal nusantara adalah kebijaksanaan yang berasal dari
kebudayaan masyarakat setempat yang berada di Nusantara.
2.
Contoh
kearifan lokal Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sangat beragam seperti
rumah adat, tari tradisional, bahasa daerah, dan upacara adat. Adapun makna
dari kearifan lokal tersebut tergantung dari daerah masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Elisa,
Nilai-nilai Kearifan Lokal. Yogyakarta: Universitas gajah Mada, tanpa tahun.
Jauhari
Ali,Muhammad.Mengenal Kearifan Lokal di Kalimantan. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Achmad Rafieq, Norginayuwati. Kearifan budaya lokal dalam
pemanfaatan lahan lebak untuk pertanian di Kalimantan Selatan.tanpa kota:
tanpa penerbit, tanpa tahun.
Tim Penyusun.Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Usop,Tari
Budayanti.Kearifan Lokal dalam Arsitektur Kalimantan Tengah yang
Berkesinambungan.Tanpa kota: Tanpa Penerbit, 2011.
[1]Norginayuwati
dan Achmad Rafieq.Kearifan budaya lokal dalam pemanfaatan lahan lebak untuk
pertanian di Kalimantan Selatan, (tanpa kota: tanpa penerbit, tanpa tahun),
h. 30.
[2]Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 89.
[3]Tim Penyusun, Kamus Besar…872
[4]Tim Penyusun, Kamus Besar…1009
[5]Elisa, Nilai-nilai Kearifan Lokal, (Yogyakarta:
Universitas gajah Mada, tanpa tahun), h.
1.
[6]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal di
Kalimantan, (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2017), h. 3-4.
[7]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal … h.
7-9.
[8]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal… h.
11-19.
[9]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal
… h. 21-43.
[10]https://www.senibudayaku.com/2018/02/tarian-tradisional-kalimantan-selatan.html. Diakses pada
22 April 2018
[11]https://www.senibudayaku.com/2018/01/bahasa-daerah-kalimantan-selatan.html.
Diakses pada 22 April 2018.
[12]https://www.senibudayaku.com/2018/01/upacara-adat-kalimantan-selatan.html. Diaksese pada 22 April 2018.
[13]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal… h.
34.
[14]Tari Budayanti Usop, Kearifan Lokal dalam Arsitektur
Kalimantan Tengah yang Berkesinambungan, (Tanpa kota: Tanpa Penerbit,
2011), Jurnal, Vol. 6, No 1 h. 27.
[15]https://www.tradisikita.my.id/2015/06/tari-tradisional-kalimantan-tengah.html. Diakses tanggal 22 April 2018.
[16]https://www.senibudayaku.com/2017/11/bahasa-daerah-kalimantan-tengah.html. Diakses pada 22 April 2018.
[17]https://www.senibudayaku.com/2017/12/upacara-adat-kalimantan-tengah.html. Diakses pada 22 April 2018.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia
adalah Negara kepulauan yang memiliki bermacam- macam suku, kebudayaan dan
bangsa.Kebudayaan yang beraneka ragamtersebut tentu dapat terjadi karena
perbedaan suku yang terlihat pada setiap wilayahdan daerah di Indonesia.Tentu
saja ini menjadi sebuah tradisi yang turun-temurun sejak dahulu.Kebudayaan
ini tentu saja harus kita pelihara dan lestarikan keberadaannya, inimerupakan
bekal untuk generasi yang akan datang agar mereka juga bisa mengetahui danmelihat
keindahan, keunikkan dan keaslian dari kebudayaan tersebut.
Dalam suatu masyarakat terdapat suatu kearifan budaya. Kearifan
budaya suatu masyarakat merupakan kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang
berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil
pengamatan selama suatu kurun waktu yang lama.
Kearifan tersebut banyak berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat
yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitaan dengan struktur lingkungan;
bagaimana lingkungan berfungsi; bagaimana reaksi alam terhadap
tindakan-tindakan manusia, serta hubungan-hubungan (yang sebaiknya tercipta)
antara manausia (masyarakat) dengan lingkungan alamnya.[1]
Diantara sekian banyak kearifan budaya lokal yang terdapat di
Indonesia. Pada makalah ini penulis akan membahas kearifan lokal yang ada di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan kearifan lokal Nusantara?
2.
Bagaimana
contoh dan makna kearifan lokal di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui dimaksud dengan kearifan lokal Nusantara?
2.
Bagaimana
contoh dan makna kearifan lokal di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kearifan Lokal Nusantara (Kalimantan Selatan Dan Kalimantan Tengah)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kearifan berarti
kebijaksanaan atau kecendekiaan.[2]Sedangkan
lokal berarti setempat, terjadi (berlaku, ada, dan sebagainya) di satu tempat
saja, tidak merata.[3]Serta
Nusantara berarti sebutan bagi seluruh wilayah Kepulauan Indonesia.[4]
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan
lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily,
local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan.
Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai
gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.[5]
Jadi, kearifan lokal nusantara adalah kebijaksanaan yang berasal
dari kebudayaan masyarakat setempat yang berada di Nusantara.
B.
Contoh dan Makna Kearifan Lokal Di Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah
1.
Kalimantan Selatan
a.
Rumah
adat
1)
Rumah
Bubungan Tinggi
Rumah adat ini adalah rumah khas suku Banjar.Dahulu rumah ini menjadi
pilihan kediaman Sultan Banjar.Rumah bubungan tinggi terbuat dari kayu ulin
atau kayu besi.Kayu ini terkenal sangat kuat. Kayu ini dapat bertahan sampai
dengan ratusan tahun dan antirayap..
Lantai rumah ini tidak langsung menempel di tanah.Ada tiangtiang
penyangga untuk menopang lantainya.Jarak antara tanah dan lantainya kurang
lebih dua meter.Anak tangga untuk menaikinya selalu ganjil.Terasnya dikelilingi
pagar berupa susunan papan berukir kembang bogam atau bentuk geometris.Pagar
ini dinamakan kandang rasi.Atapnya terbuat dari kepingan papan tipis-tipis.
Ukuran rumah ini, baik tinggi, panjang, maupun lebarnya,
berbeda-beda antara rumah satu dengan lainnya.Perbedaan ini karena pada waktu
itu ukurannya ditentukan oleh ukuran depa atau jengkal pemilik rumah
masing-masing.Pada zaman dahulu, rumah jenis ini tidak dicat. Warnanya
sesuai dengan warna kayu ulin yang
digunakan. Kayu ini jika masih baru berwarna coklat kekuningan.Setelah lama,
warnanya menjadi coklat kehitaman.
Adapun makna dari rumah ini melambangkan perpaduan dunia atas dan dunia
bawah. Ukiran burung enggang yang disamarkan pada bagian ujung garis lintang
atap rumah ini melambangkan alam atas.Sementara ukiran naga yang juga
disamarkan melambangkan alam bawah.Ukiran naga ini terdapat di bagian ujung
penampih, yakni papan yang mengelilingi bagian bahwa rumah.Ukiran-ukiran itu
sengaja disamarkan.Alasannya karena dalam ajaran Islam yang mereka anut tidak
dibolehkan mengukir makhluk bernyawa secara jelas.Wujud rumah ini secara
keseluruhan melambangkan pohon kehidupan.Pohon ini memiliki makna keseimbangan
dan keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan
Tuhan Yang Maha Esa.[6]
2)
Rumah
Gajah Baliku
Rumah
ini juga termasuk rumah tradisional suku Banjar.Pada masa Kesultanan Banjar,
rumah ini merupakan tempat tinggal para saudara sultan.Sebenarnya bentuk
fisiknya mirip dengan rumah bubungan tinggi.
Perbedaan
antara rumah bubungan tinggi dan rumah ini terletak pada ruang tamu kedua jenis
rumah.Pertama, pada ruang tamu rumah bubungan tinggi, lantainya berjenjang,
sedangkan pada rumah ini lantainya tidak berjenjang.Perbedaan ini karena rumah
bubungan tinggi adalah bangunan istana yang didiami sultan.Saat menghadap raja
tentu ada tingkatan ruangan sesuai dengan jabatan dari tiap-tiap tamu yang
hadir.
Kedua,
pada rumah bubungan tinggi, atap ruang tamu tidak memakai kuda-kuda, sedangkan
rumah gajah baliku memakai kuda-kuda.Rumah jenis ini dulunya juga berbahan kayu
ulin dan tidak dicat.Sementara itu, bangunan baru yang menggunakan bentuk jenis
rumah ini sudah dicat sesuai selera.Bangunan rumah ini menghadap ke arah sungai
sebagai bagian dari kebudayaan sungai suku Banjar.Terdapat pula seni ukir khas
suku Banjar di dalamnya.
Makna
dari rumah ini yaitu secara keseluruhan bangunannya mengandung makna
keseimbangan dan keharmonisan antara sesama manusia, termasuk antara sultan dan
saudara-saudaranya, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha
Esa.
3)
Rumah
Palimasan
Rumah
ini masih termasuk rumah tradisional suku Banjar.Bahan dasarnya adalah kayu
ulin yang lebih besar.Salah satu ciri utama rumah ini adalah semua bagian atap
sirapnya menggunakan atap model perisai.Penggunaan atap model ini membentuk
atap berwujud limas.Karena itulah, rumah ini dinamakan rumah palimasan.
Model
awal bangunan induknya berbentuk segi empat yang memanjang.Dalam
perkembangannya, bagian agak belakang bangunan induk ini mendapatkan tambahan
ruang pada sisi sampingnya.Ruang tambahan yang disebut anjung ini pun
beratapkan limas.Pada zaman dulu, rumah ini tidak dicat dan menghadap ke arah
sungai.Warna kayu ulinlah yang menjadi warna alaminya dengan dihiasi seni ukir
khas suku Banjar. Kini rumah palimasan yang tersisa atau bangunan gedung yang
berbentuk rumah palimasan dicat sesuai
dengan selera pemilik masing-masing.
Pada
masa Kesultanan Banjar, bangunannya didiami oleh bendaharawan.Tugas
bendaharawan ini memelihara emas dan perak kesultanan.Rumah dengan bahan yang
kuat ini bermakna kehati-hatian dan keteraturan dalam menjaga harta benda yang
dimiliki.[7]
4)
Rumah
Balai Bini
Rumah
tradisional suku Banjar yang satu ini pada masa Kesultanan Banjar didiami oleh
para putri sultan atau warga sultan dari pihak perempuan.Bangunan induknya yang
segi empat memanjang memakai atap model perisai.Bentuk bangunan induk ini
biasanya dinamakan rumah gajah.Atap rumah yang menyerupai perisai ini bermakna
perlindungan terhadap wanita.
Bagian
bangunan di samping kiri dan kanan bangunan induk tersebut dinamakan
anjung.Anjung memakai atap sengkuap. Atap model ini disebut dengan nama atap
pisang sasikat. Arti pisang sasikat adalah pisang sesirir.Dinamakan demikian
karena ruang bagian kanan dan kiri yang beratap pisang sasikat ini menyerupai
sesisir pisang.
Pada
dinding depan rumah terdapat satu pintu masuk. Terdapat jendela kanan dan kiri
di antara pintu ini.Terasnya diberi pagar kandang rasi seperti pada rumah
bubungan tinggi. Rumah ini diberi atap yang menutupi bagian atas emper depan.
Atap ini dinamakan atap sindang langit yang tidak diberi plafon.Di bagian
terasnya ada empat buah pilar penyangga emper depannya.
Semua
model atap rumah ini menggunakan sirap.Rumah ini juga tidak dicat seperti
rumah-rumah tradisional suku Banjar lainnya.Warna kayu ulinlah yang menjadi
warna aslinya dengan dihiasi seni ukir khas suku Banjar.Rumah ini menghadap ke
arah sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai di Kalimantan Selatan.Pada
perkembangannya, bangunan gedung modern yang memakai model rumah ini dicat
sesuai selera.
5)
Rumah
Tadah Alas
Rumah
ini juga termasuk salah satu rumah tradisional suku Banjar. Disebut tadah alas
karena ada satu lapis atap perisai sebagai kanopi di bagian paling depan. Atap
perisai inilah yang disebut tadah alas.Sebenarnya kanopi atau tadah alas ini
sengaja ditambahkan sebagai pengembangan dari rumah balai ini.
Rumah
ini berbahan dasar kayu ulin.Bangunan induknya juga berbentuk segi empat
memanjang.Bagian depannya beratap perisai. Atap bagian depan ini ditumpangi
atap perisai lainnya mulai dari beranda paling atas atau ruangan setengah
terbuka yang dinamakan surambi pamedangan. Ruang samping atau disebut anjung
ada yang ditutupi atap sengkuap pisang sasikat dan ada juga yang ditutupi atap
perisai juga.Semua atap berupa sirap dengan bahan kayu ulin.
Semula
rumah ini juga tidak dicat.Sesuai perkembangan zaman, ada yang dicat dengan
warna-warna sesuai dengan selera pemiliknya.Rumah ini menghadap ke sungai
dengan dihiasi ukiran khas suku Banjar.
Tadah
alas atau kanopi ini mengandung makna keadilan secara menyeluruh.Keadilannya
terlihat jelas dengan adanya perlindungan bagian induk rumah dengan atap utama
dan perlindungan bagian depannya dengan atap tadah alas.
6)
Rumah
Gajah Manyusu
Rumah
gajah manyusu adalah sebuah nama kolektif. Nama kolektif ini untuk menyebut
semua bentuk rumah tradisional suku Banjar yang bangunan induknya beratap
perisai buntung.Dalam bahasa banjar disebut atap hidung bapicik.
Pada
masa Kesultanan Banjar, rumah ini memang dihuni oleh keturunan raja di garis
utama.Mereka disebut warit sultan atau bubuhan gusti yang merupakan para calon
pengganti sultan. Di bagian terasnya ada
empat buah pilar penyangga emper depan. Empat pilar ini dapat diganti dengan
kontruski balok kuda-kuda penyangga atap emper rumah.
Pada
zaman dulu, bahan dasar rumah ini memakai kayu ulin, baik tiang penyangga,
lantai, dinding, maupun atapnya.Warna dasarnya sesuai warna kayu ini.Setelah
mengenal cat, sebagian rumah ini ada yang dicat sesuai dengan selera
pemiliknya, misalnya, warna cokelat.Ada hiasan berupa seni ukir Banjar dalam
rumah ini.Bangunan rumah ini juga menghadap ke arah sungai sebagai bagian dari
kebudayaan sungai Suku Banjar.
Makna
dari rumah ini menggunakan atap pada bagian bubungannya menyerupai perisai,
tetapi seakan-akan terpancung atau terpotong sebagian di depannya.Dibuat seakan
terpotong seperti itu mengesankan atap yang belum utuh.Ini menyerupai tanaman
yang belum tumbuh sempurna.Atap yang belum utuh ini mengandung makna belum
menjadi sultan yang sah.
7)
Rumah
Balai Laki
Rumah
tradisional suku Banjar ini dulu dihuni para penggawa mantri dan para prajurit
pengawal keamanan Kesultanan Banjar.
Bentuk atap bangunan depan atau induknya memakai bubungan atap yang
menyerupai pelana kuda. Atap ini disebut atap pelana. Bahannya sirap yang
berupa kepingan papan tipis-tipis dari kayu ulin
Awalnya
bangunan induk rumah ini berbentuk segi empat yang memanjang.Bentuk bangunan
induk atau pokok ini disebut rumah laki.Lama-kelamaan bangunannya mendapatkan
tambahan berupa ruangan samping.
Terdapat
jendela di samping kiri dan kanan pintu ini.Beranda dalam ditopang empat
pilar.Rumah ini dulunya tidak bercat. Warnanya sesuai dengan warna kayu ulin sebagai bahan
bangunannya. Kini, rumah ini sudah jarang ditemukan.Rumah ini juga berhiaskan
seni ukir khas suku Banjar.Bangunannya pun menghadap ke arah sungai sebagai
bagian dari kebudayaan sungai.
Rumah
ini memiliki satu pintu masuk di bagian depan. Satu pintu ini maknanya berjiwa
kesatria yang gagah berani, cerdas, dan sigap, yaitu tidak mau melarikan diri
dari pintu belakang.
8)
Rumah
Palimbangan
Pada
masa Kesultanan Banjar, rumah tradisional suku Banjar ini adalah hunian para
tokoh agama Islam dan para alim ulamanya.Bangunan ini bahan utamanya adalah
kayu ulin. Bentuk atap bangunan depan atau induknya juga memakai bubungan atap
pelana. Di bagian atas teras depannya ditutup dengan atap sindang langit. Atap
teras depan ini biasanya dibuat melebar ke teras samping sampai di depan
anjung. Atapnya terbuat dari kepingan
papan tipis atau sirap yang berasal dari kayu ulin juga.
Ada
seni ukir khas suku Banjar berupa motif anak catur yang di kiri dan kanannya
terdapat ukiran jengger ayam, lipan, atau paku alai. Ukiran ini disebut jamang,
letaknya tepat di bagian pucuk rumah.Jamang ini merupakan mahkota
bubungannya.Rumah ini juga menghadap ke arah sungai, sebagai bagian dari
kebudayaan sungai suku Banjar.
Rumah
ini mengandung makna kuatnya agama Islam dan penghormatan terhadap ulama di
Kesultanan Banjar.Selain itu, beranda rumah ini ditopang empat pilar.Empat
pilar ini masing-masing merupakan simbol dalam agama Islam.Pilar pertama
menyimbolkan syariat, yakni hukum yang mengatur seluruh kehidupan manusia.Pilar
kedua adalah simbol tarekat, yaitu jalan.Maksudnya menjalankan syariat secara
benar. Pilar ketiga merupakan simbol
hakikat, inti sari, atau dasar agama Islam. Pilar keempat simbol
makrifat, yaitu tingkat penyerahan diri kepada Allah Swt.[8]
9)
Rumah
Cacak Burung
Rumah
jenis ini adalah hunian rakyat biasa.Bangunan induknya memanjang dengan beratap
pelana.Ruang dalam yang ada di belakang dan ruang samping kiri dan kanan ditutupi
atap limas.
Atap
yang digunakan untuk rumah ini berupa sirap dan ada pula atap rumbia.Atap
rumbia berbahan daun rumbia kering yang disusun dengan sangat rapat.Kini sudah
sangat jarang ditemukan rumah seperti ini.Rumah ini juga berhiaskan seni ukir
khas suku Banjar seperti rumah lainnya.Bangunannya menghadap ke arah sungai
pula.
Kedua
atap, yakni atap pelana dan atap limas membentuk tanda tambah (+).Tanda ini
merupakan simbol bentuk cacak burung.Simbol ini adalah tanda magis penolak
bala.Bentuk tanda tambah (+) inilah yang menyebabkan rumah ini disebut rumah
cacak burung.
10)
Rumah
Lanting
Bangunan
rumah ini mengapung di atas air, yakni di sungai atau di rawa dengan pondasi
rakit. Hal inilah yang menyebabkan rumah ini disebut rumah rakit.Bagian pondasi
terdiri atas susunan batang-batang pohon besar.Biasanya ada tiga batang pohon
besar yang dipakai sebagai pondasinya.Dinding rumah ini biasanya dibuat dengan
menyusun kayu lanan secara mendatar.Atapnya berupa atap pelana.Titian digunakan
untuk menghubungkan rumah ini dengan daratan.Bahan titian ini bisa dari kayu
atau bambu.Bahan atapnya bisa berupa sirap, atap rumbia, atau dari seng.
Bangunannya
yang mengapung bermakna kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya, yakni
lingkungan air.Buktinya manusia mampu
hidup di atas air dengan menggunakan rumah lanting ini.
11)
Rumah
Joglo Gudang atau Rumah Joglo Banjar
Rumah
ini juga termasuk rumah tradisional suku Banjar.Bangunannya beratap limas
dengan disambung atap sindang langit pada bagian depannya.Atap bagian depannya
ini tanpa plafon.Di bagian belakangnya disambung dengan atap sengkuap yang
disebut hambin awan.Bangunannya bertiang tinggi.Bagian bawahnya bisa menjadi
gudang tempat menyimpan barang.
Rumah
ini mengandung makna rendah hati dan gemar berbagi.Makna ini ditandai dengan
atap rumah yang bagian tepinya rendah. Pemakaian kata joglo pada nama rumah ini
karena bangunannya menyerupai rumah joglo khas suku Jawa. Adapun alasan
pemakaian kata gudang karena bagian kolongnya digunakan sebagai gudang
menyimpan hasil hutan, karet, dan lainnya yang merupakan komoditas zaman dulu.Rumah
ini juga dihiasi seni ukir khas suku Banjar.Arah bangunannya juga menghadap
sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai di Kalimantan Selatan.
12)
Rumah
Bangun Gudang
Atapnya
berbentuk perisai atau atap gajah. Beranda tempat bersantai tergolong kecil
karena bagian kanan dan kirinya diubah menjadi dinding depan. Beranda yang
kecil ini bermakna bermakna kerja keras atau tidak bermalas-malasan.Pada
terasnya tidak terdapat empat pilar penyangga. Rumah ini memiliki tiga pintu
masuk, yakni satu dari tengah, satudari
samping kiri, dan satu dari samping kanan beranda. Bahan bangunannya terbuat
dari kayu ulin. Lantainya disangga kayukayu setinggi setengah meter dari
permukaan tanah. Atap rumah ini umumnya menggunakan sirap.
Terdapat
seni ukir khas suku Banjar berupa motif anak catur yang di kiri dan kanannya
ada ukiran jengger ayam, lipan, atau paku alai. Ukiran ini disebut jamang,
letaknya tepat di bagian pucuk rumah.Jamang ini merupakan mahkota bubungannya.
13)
Rumah
Balai
Rumah
ini merupakan rumah khas sub-subsuku Dayak yang berada di sepanjang Pegunungan
Meratus.Sub-subsuku Dayak ini juga merupakan bagian dari rumpun-rumpun Dayak
tersebut di atas.Misalnya, ada yang termasuk rumpun Ot Danum dan ada yang masuk
rumpun Iban.Bangunan rumah ini berukuran lebar antara 10 sampai 15 meter dan
panjang mencapai 20 sampai 30 meter.Lantainya tidak langsung menyentuh
tanah.Ada tiang-tiang penyangga setinggi dua sampai tiga meter.[9]
b.
Tari
tradisional
1)
Tari
Sinoman Hadrah Rudat
Tarian
ini merupakan salah satu bentuk paduan seni tari dan musik khas Banjar yang
paling dikenal.Sinoman hadrah rudat bersumber dari budaya yang dibawa oleh
pedagang dan pendakwah Islam dari Arab dan Persia.
Kesenian
ini sangat dipengaruhi nilai-nilai Islam. Puja dan puji kepada Allah SWT serta
Rasul Muhammad SAW, mengisi syair dan pantun yang dilagukan bersahutan dalam
irama Qasidah yang merdu, para penarinya melakukan gerakan dinamis dengan
dilindungi payung ubur-ubur. Payung ini merupakan lambang keagungan dalam
kehidupan tradisional di Indonesia.Sinoman hadrah rudat biasanya ditampilkan
untuk pengantin banjar dan menyambut kedatangan tamu.
2)
Tari
Hudo
Tari
ini menggambarkan kedatangan utusan dewa ke dunia untuk mengusir roh-roh jahat
yang menggangu ketentraman hidup manusia.Melalui tarian ini diperoleh gambaran
bahwa suku bangsa Dayak mempercayai adanya makhluk halus yang menguasai
kehidupan di dunia.
3)
Tari
Giring-Giring
Tari
ini merupakan tari pergaulan yang biasanya melibatkan para tamu pada suatu
pesta adat penyambutan untuk ikut bergembira.
4) Tari
Baksa Kembang
Tarian ini juga sering dipentaskan pada acara-acara
pernikahan ataupun acara adat lainnya.Saat ini tari Baksa Kembang masih sering
dipakai pada saat acara penyambutan tamu yang dihormati. Tari baksa kembang
berasal dari kata baksa yang berarti kelembutan, artinya bentuk kelembutan tuan
rumah dalam penyambutan tamu agung dengan cara memberikan rangkaian bunga oleh
penari kepada tamu yang dihormati.Penari tari Baksa selalu ganjil yang memberikan
rangkaian bunga (mawar dan melati) yang disebut masyarakat setempat dengan
kembang Bogam.[10]
c.
Bahasa
daerah
Bahasa masyarakat pada umumnya adalah bahasa Banjar. Bahasa Banjar banyak dipengaruhi oleh
bahasa Melayu, Jawa, dan bahasa Dayak.Bahasa Banjar sering juga pula disebut
bahasa Melayu Banjar terdiri atas dua kelompok dialek, yaitu bahasa Banjar Huludan bahasa
Banjar Kuala.
Bahasa Banjar Hulu merupakan dialek
asli yang dipakai penduduk yang tinggal di wilayah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai
Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Tabalong. Daerah
pahuluan dahulu mempakan pusat kerajaan Hindu, tempat asal mula perkembangan
bahasa Melayu Banjar.Dialek bahasa Banjar Hulu dituturkan dengan logat yang
kental (ba-ilun).Dialek bahasa Banjar Hulu juga dapat ditemukan di
kampung-kampung (handil) yang penduduknya berasal dari Hulu Sungai
seperti di Kecamatan Gambut, Aluh Aluh, dan Tamban.Ketiga kecamatan tersebut
berada di wilayah Banjar Kuala.
Dialek bahasa Banjar Kuala digunakan
orang yang tinggal di wilayah Banjar Kuala.Wilayah tersebut pada masa sekarang
meliputi Kabupaten Banjar, Barito Kuala, Tanah Laut, Kota Banjarmasin, dan
Banjarbaru.Pemakaiannya meluas hingga wilayah pesisir bagian tenggara
Kalimantan.Penduduk Kabupaten Tanah Bumbu dan Kota Baru bahkan sampai
Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah bercakap-cakap menggunakan dialek
ini.Bahasa Banjar Kuala dituturkan dengan logat datar tanpa intonasi
tertentu.Dialek Banjar Kuala yang asli dapat ditemukan di sekitar Kota Banjarmasin
yang merupakan daerah awal berkembangnya Kesultanan Banjar.
Bahasa Banjar juga digunakan sebagai
bahasa percakapan (lingua franca) beberapa suku bangsa di Kalimantan
Selatan.Karena kedudukannya sebagai lingua franca, penutur bahasa Melayu Banjar
lebih banyak daripada jumlah suku Banjar itu sendiri.Pemakaian bahasa Melayu
Banjar dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari di daerah ini lebih dominan
dibandingkan dengan bahasa Indonesia.Berbagai suku bangsa di Kalimantan Selatan
berusaha mempelajari bahasa Banjar.Bahasa Banjar juga mengenal tingkatan bahasa
(Jawa: unggahungguh), tetapi hanya untuk kata ganti orang.[11]
d.
Upacara
adat
Suku Banjar memiliki bebrapa upacara adat yang masih
dijalankan hingga kini. Keseluruhan upacara berisi doa dan permohonan agar
manusia selalu mendapat limpahan rahmat dan karunia Allah Swt. Selanjutnya,
manusia dijauhkan dari berbagai bencana yang tidak diinginkan. Beberapa upacara
tersebut adalah:
1)
Mandi Tian
Mandaring
Upacara
ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan pengharapan akan lahirnya
seorang bayi. Kelahiran seorang bayi umumnya dimaknai sebagai karunia Tuhan
yang amat berharga.Sewwaktu kandungan seorang ibu telah berumur tujuh bulan,
upacara Mandi Tiam Mandaring dilaksanakan.Upacara ini disebut juga dengan
istilah bapagar mayang karena tempat mandi menggunakan pagar mayang.
2)
Baayun Mulud
Pelaksanaan
upacara ini dengan meletakkan bayi yang berusia empat puluh hari di atas
ayunan.Ayunan terbuat dari tiga lapis kain.Hiasan Bungan warna warni
digantungan disekitar ayunan.Dalam upacara ini dibacakan syair, seperti syair
barzanji, syarafal anam dan syair diba’i.saat pembacaa asyrakal dikumandangkan,
anak dalam ayunan diayun secara perlahan-lahan dengan cara menarik selendang
yang diikat pada ayunan dengan maksud untuk mengambil berkah atas kemuliaan
Nabi Muhammad Saw dan rasa syukur kepada Allah Swt.
3)
Upacara adat
perkawinan
Perkawinan
adat Banjar dipengaruhi oleh ajaran Islam.Tampak jelas besarnya penghormatan
terhadap wanita.Hal itu merupakan penerapan dari ajaran Islam yang meyakini
bahwa “surge ada di bawah telapak kaki ibu” dan “wanita itu adalah tiang
Negara”.Acara demi acara semuanya berpusat di tempat atau di rumah pihak
mempelai wanita.Diantaranya, hari batatai adalah hari saat kedua mempelai duduk
bersanding setelah akad nikah.Basasarangan atau maatar kada adalah acar
keluarga mempelai pria dan wanita saling berkunjung sevara bergantian setelah
pernikahan.
4)
Upacara adat
kematian
Membantu
orang yang tertimpa musibah kematian pada masyarakat Kalimantan Selatan
merupakan suatu kewajiban yang dilakukan dengan ikhlas.Segala keperluan
biasanya ditanggung bersama secara gotong royong. Tata cara merwat orang yang
telah meninggal mengikuti hokum Islam. Setelah penguburan, biasanya dilakukan
upacara selamatan baaruh yang dilakukan dalam
beberapa tahap. Tahap pertama adalah upacara turun tanah.Acara didahului
dengan tahlil lalu do’a selamat.[12]
2.
Kalimantan Tengah
a.
Rumah
adat
1)
Huma
betang
Huma betang adalah rumah panjang khas suku Dayak Ngaju. Suku Dayak
ini termasuk dalam rumpun Ot Danum yang mendiami wilayah Kalimantan Tengah.
Rumah ini panjangnya bisa mencapai 30—150 meter.Lebarnya bisa sampai 10-30
meter.Lantainya tidak langsung menyentuh tanah.Ada tiang-tiang penyangga lantai
setinggi 3-5 meter dari permukaan tanahnya.
Rumah ini dapat dihuni oleh 100-150 jiwa.Dalam huma betang dipimpin
oleh seorang pembakas lewu atau ketua kampung sehingga rumah ini disebut pula
rumah suku.Ada sebuah tangga dan pintu masuk ke dalamnya.Ornamen khas suku
Dayak Ngaju sebagai bagian kebudayaan mereka sangat kental di rumah ini.Rumah
ini berbahan kayu ulin. Kayu ini bisa tahan sampai dengan ratusan tahun dan antirayap. Pada zaman dulu
rumah ini tidak bercat.Warnanya sesuai dengan warna kayu ulin ini.Atapnya
menggunakan bahan sirap dengan jenis atap pelana yang memanjang.Di bagian
tengah atas atap itu ada lagi atap pelana tambahan.Terdapat kayu membentuk
huruf V tepat di setiap ujung bubungannya.[13]
Betang merupakan tempat tinggal permanen untuk beberapa generasi,
dibangun di desa oleh beberapa kepala keluarga yang masih memiliki ikatan
pertalian darah/keturunan atau rumah yang menampung banyak keluarga di
dalamnya. Walaupun rumah Betang menampung banyak keluarga yang ditampung yang
hidup dalam satu atap, tetapi mereka memiliki pemimpin atau kepala adat atau
panglima perang yang dapat melindungi mereka dari serangan musuh, yaitu seperi
Betang Buntoi di pimpin oleh seorang Singa Djala, Betang Tumbang Korik di
pimpin oleh Singa Kiting, Betang Tumbang Anoi dipimpin oleh Damang Batoe, dan
lain-lain.
Adapun
makna dari Huma Betang ini ialah secara filosofis sebutan Betang juga dapat
diartikan sebagai suatu perwujudan budaya hidup bersama dalam satu atap,
kegotong royongan, saling pengertian dalam naungan hukum adat yang jelas.Ini
adalah suatu gambaran yang nyata dan logis dari suatu peradaban tradisional
dimana pada waktu itu keadaan lingkungan fisik yang masih ganas dan
buas.Kebersamaan adalah suatu perwujudan kekuatan yang memungkinkan untuk
pertahanan dan keberlangsungan.[14]
2)
Lewu
Hante
Lewu
hante merupakan rumah panjang tradisional suku Dayak Maanyan.Suku Dayak ini
banyak mendiami daerah Kalimantan Tengah. Mereka termasuk dalam rumpun Ot
Danum. Bahan utama bangunan rumah ini adalah kayu ulin.Jarak antara lantai dan
permukaan tanah sekitar 3-5 meter.Rumah ini hanya memiliki tangga tunggal untuk
memasukinya.Atapnya menggunakan atap pelana yang memanjang.Di atas atap ini
tidak ada atap pelana tambahan.Bahan atap terbuat dari sirap.
Di
bagian mahkota atap terdapat ukiran bermotif burung enggang dan naga.Seni ukir
ini merupakan bagian dari kebudayaan dan kepercayaan mereka.Ukiran burung
enggang melambangkan dunia atas, sedangkan ukiran naga melambangkan dunia
bawah.
b.
Tari
tradisional
1)
Tari
hugo dan huda
Tarian
hugo dan huda ini merupakan tarian yang termasuk dalam ritual agar para dewa
menurunkan hujan ke bumi. Tarian ini biasanya dilakukan apabila telah
berlangsung musim kemarau yang cukup lama.
2)
Tari
putri malawen
Tari
ini tepatnya berada di daerah Barito.Tarian ini pada zaman kerajaan dahuku
ditampilkan pada caara-acara besar kerajaan dan ditarikan oleh seorang gadis
yang berasal dari sekitar danau Malawen di Barito.
3)
Tari
tuntung tulus
Tari
tuntung tulus adalah tarian tradisional yang berasal dari Kalimantan
Tengah.Tarian ini ditampilkan pada acara perlombaan atau event tertentu di
Kalimantan.
4)
Tari
giring-giring
Tari
giring-giring disebut juga dengan tari gangereng adalah tari tradisional yang
biasanya ditampilkan untuk menyambut kedatangan tamu di Barito.Aksesoris yang
digunakan para penari yaitu giring-giring terbuat dari bambu tipis (telang)
yang diisi dengan biji “piding” sehingga menghasilkan suara yang ritmis dengan
alunan kangkanong (gamelan) oleh penarinya.
5)
Tari
Manasai
Tari
Manasai adalah tarian pergaulan pemuda dan pemudi masyarakat Dayak di daerah
Kalimantan tengah.Tarian ini dilakukan oleh beberapa orang peserta, pria dan
wanita yang berdiri berseling-seling antara pria dan wanita dalam satu
lingkaran.Tarian Manasai dari Kalimantan Tengah dimulai dengan posisi semua
penari menghadap ke dalam lingkaran, kemudian berputar kearah kanan, sambil
melakukan gerak maju bergerak berlawanan arah jarum jam.Kemudian menghadap ke
arah luar lingkaran, berputar lagi ke arah kiri sambil melakukan gerak maju. Tidak
ada batasan usia dalam tarian ini. Siapapun boleh bergabung.
6)
Tari
Belian Bawo
Tari
ini dipertunjukkan untuk melakukan pengobatan, menolak penyakit, membayar nazar
dan sebagainya.
7)
Tari
Balean Dadas
Tari
ini diprgunakan untuk meminta kesebuhan kepada tuhan bagi masyarakat yang
sakit. Para penari Balean Dadas memakai pakaian adat dauak yang khas penuh
warna seperti hitam, putih, merah, hijau dan kuning melakukan tarian ini untuk
memohon kesembuhan kepada Ranying Hatala langit (Tuhan) bagi mereka yang sakit.
Selain itu, biasanya seorang dukun perempuan atau Balean dadas ikut dalam
tarian ini.
8)
Tari
Manganjan
Tari
ini biasanya dilakukan oleh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan untuk
melakukan ritual tertentu seperti upacara tiwah atau upacara lain. Tiwah
sendiri merupakan prosesi menghantarkan
roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara
menyucikan dan memindahkan sisa jasad menuju sebuah tempat yang bernama
sanding.[15]
c.
Bahasa
daerah
Masyarakat
Kalimantan Tengah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Sebagian bahasa masyarakat Kalimantan Tengah (sekitar 60 %) terutama di daerah
perkotaan telah mengenal dan menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi
terutama sebagai bahasa pengantar di pemerintahan dan pendidikan. Pelajaran
Bahasa Indonesia telah diajarkan kepada para siswa sejak di bangku sekolah
dasar.
Sebagian
besar penduduk Kalimantan Tengah terdiri atas suku bangsa Dayak.Suku ini
terdiri dari atas beberapa subsuku bangsa.Mereka memiliki beberapa subsuku bangsa
mereka memiliki beberapa bahasa daerah.Bahasa
Dayak Ngajuadalah bahasa Dayak yang paling luas digunakan di Kalimantan Tengah, terutama
di daerah sungai Kahayan dan Kapuas. Bahasa Dayak Ngaju terbagi dalam berbagai
dialek seperti bahasa Dayak Katingan dan Ruangan. Selain itu bahasa Ma’anyan di daerah aliran sungai Barito
dan Ot Danom oleh suku Dayak Ot Danom di Hulu Sungai Kahayan dan
Kapuas.
Bahasa
yang yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa banjar.Hal ini dikarenakan
memiliki kedekatan geografis dengan daerah Kalimantan Selatan yang mayoritas
dihuni oleh suku (orang) Banjar, dan cukup banyak orang Banjar yang merantau ke
Kalimantan Tengah.Bahasa lainnya adalah bahasa Jawa, bahasa Batak, dan
sebagainya yang dibawa para pendatang.
Menurut
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Tengah, bahasa daerah (lokal)
terdapat di sebelas DAS meliputi sembilan bahasa dominan dan tiga belas bahasa
minoritas. Sembilan bahasa dominan yaitu bahasa: Melayu, Banjar, Ngaju,
Maanyan, Ot Danom, Katingan, Bakumpai, Tamuan, Sampit. Tiga belas bahasa
Minoritas yaitu: Mentaya, Pembuang, Dayak Bara Injey, Balai, Bulik, Kadoreh,
Mendawai, Waringin, Dusun Bayan, Dusun Tawoyan, Dusun Lawangan, Dayak Barean.[16]
d.
Upacara
adat
Upacara di sini tidak
dapat dipisahkan dari agama dan kepercayaan yang dinut oleh masyarakat
Kalimantan Tengah.Diantaranya yaitu:
1) Wadian
Upacara
adat suku Dayak (Dusun, Maanyan, lawangan, Bawo) dalam rangka pengobatan
terhadap orang sakit. Upacara wadian berlangsung selama satu minggu lebih,
jenis wadian antara lain wadian Pangunraun (Pangunraun Jatuh, Pangunraun Jawa),
Wadian Dapa, Wadian Tapa Unru, Wadian Bawo, Dan Wadian Bulat.
2) Adat
rukun kematian kaharingan
Jenis
adat ini meliputi Ngalangkang, Nambak, Ngatet Panuk, Wara, wara Nyalimbat,
Ijambe, Bontang, Kedaton, Manenga Lewu, dan Marabia. Hanya boleh dilaksanakan
dari bulan Mei sampai bulan September setiap tahun kecuali untuk Kaharingan
Lawangan yang upacara kematiannya disebut “Wara”.
3) Upacara
adat tiwah
Tujuan iwah adalah mengantarkan arwah
orang yang telah meninggal dunia ke Lewu Tatau atau ke Lewu Liau, yaitu tempat
tujuan akhir sempurna bersama Ranying Hatalla (Tuhan).Ritual tiwah memakan
waktu selama dua bulan.
4)
Mamapas
lewu
Mamafas lewu merupakan manifestasi tatanan kehidupan dalam
berinteraksi dengan komunitas sesama.Kegiatan ini bertujuan membersihkan alam
dan lingkungan hidup (petak danum) beserta segala isinya dari berbagai
sengketa, bahaya sial, wabah penyakit, menciptakan suasana panas menjadi dingin
dan gerah menjadi sejuk.
5)
Manetek
kayu
Tradisi memperlihatkan kemampuan, keterampilan dan kekuatan pria
Dayak dalam menggunakan pahera untuk bisa bertahan hidup.Sama nilainya dengan
kemampuan menyumpit, memainkan Mandau maupun tradisi lainnya.[17]
Jadi, contoh kearifan lokal yang ada
di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sangat beragam seperti rumah adat,
tari tradisional, bahasa daerah, dan upacara adat. Adapun makna dari kearifan
lokal tersebut tergantung dari daerah masing-masing.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
1.
Kearifan
berarti kebijaksanaan atau cendikia, sedangkan lokal berarti setempat atau
daerah dan Nusantara adalah sebutan untuk bagi seluruh wilayah Kepulauan
Indonesia.Jadi, kearifan lokal nusantara adalah kebijaksanaan yang berasal dari
kebudayaan masyarakat setempat yang berada di Nusantara.
2.
Contoh
kearifan lokal Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sangat beragam seperti
rumah adat, tari tradisional, bahasa daerah, dan upacara adat. Adapun makna
dari kearifan lokal tersebut tergantung dari daerah masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Elisa,
Nilai-nilai Kearifan Lokal. Yogyakarta: Universitas gajah Mada, tanpa tahun.
Jauhari
Ali,Muhammad.Mengenal Kearifan Lokal di Kalimantan. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Achmad Rafieq, Norginayuwati. Kearifan budaya lokal dalam
pemanfaatan lahan lebak untuk pertanian di Kalimantan Selatan.tanpa kota:
tanpa penerbit, tanpa tahun.
Tim Penyusun.Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Usop,Tari
Budayanti.Kearifan Lokal dalam Arsitektur Kalimantan Tengah yang
Berkesinambungan.Tanpa kota: Tanpa Penerbit, 2011.
[1]Norginayuwati
dan Achmad Rafieq.Kearifan budaya lokal dalam pemanfaatan lahan lebak untuk
pertanian di Kalimantan Selatan, (tanpa kota: tanpa penerbit, tanpa tahun),
h. 30.
[2]Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 89.
[3]Tim Penyusun, Kamus Besar…872
[4]Tim Penyusun, Kamus Besar…1009
[5]Elisa, Nilai-nilai Kearifan Lokal, (Yogyakarta:
Universitas gajah Mada, tanpa tahun), h.
1.
[6]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal di
Kalimantan, (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2017), h. 3-4.
[7]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal … h.
7-9.
[8]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal… h.
11-19.
[9]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal
… h. 21-43.
[10]https://www.senibudayaku.com/2018/02/tarian-tradisional-kalimantan-selatan.html. Diakses pada
22 April 2018
[11]https://www.senibudayaku.com/2018/01/bahasa-daerah-kalimantan-selatan.html.
Diakses pada 22 April 2018.
[12]https://www.senibudayaku.com/2018/01/upacara-adat-kalimantan-selatan.html. Diaksese pada 22 April 2018.
[13]Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal… h.
34.
[14]Tari Budayanti Usop, Kearifan Lokal dalam Arsitektur
Kalimantan Tengah yang Berkesinambungan, (Tanpa kota: Tanpa Penerbit,
2011), Jurnal, Vol. 6, No 1 h. 27.
[15]https://www.tradisikita.my.id/2015/06/tari-tradisional-kalimantan-tengah.html. Diakses tanggal 22 April 2018.
[16]https://www.senibudayaku.com/2017/11/bahasa-daerah-kalimantan-tengah.html. Diakses pada 22 April 2018.
[17]https://www.senibudayaku.com/2017/12/upacara-adat-kalimantan-tengah.html. Diakses pada 22 April 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar