PEMBAHASAN
A.
Pengertian Belajar
Dalam
konteks psikologi pembelajaran, pengertian tentang belajar amat beragam. Dalam
perspektif psikologi, belajar merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan
dalam perilaku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psychology: The
Teaching-Learning Process dalam Syah (1996) menyatakan bahwa belajar a
process of progressive behavior adaptation (belajar adalah proses adaptasi
atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif).[1]
B.
Teori-Teori Belajar
Dalam
psikologi, teori belajar selalu dihubungkan dengan stimulus respons dan
teori-teori tingkah laku yang menjelaskan respons makhluk hidup dihubungkan
dengan stimulus yang didapat dalam lingkungannya.[2]Diantara sekian
banyak teori yang berdasarkan hasil eksperimen, ada tiga teori yang paling
menonjol, yaitu Connectionism, Classical Conditioning, dan Operan
Conditioning. Dikatakan menonjol karena tiga teori diatas banyak mengilhami
dan mendorong para ahli melakukan eksperimen-eksperimen lainnya untuk
mengembangkan teori-teori baru yang juga berkaitan dengan belajar. Selain tiga
teori diatas, ada juga teori Pendekatan Kognitif dan teori psikologi Gestalt.
1.
Teori Koneksionisme (Connectionism)
Teori ini ditemukan dan dikembangkan oleh Edward
L.Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun
1890-an. Eksperimennya seperti berikut ini:
“Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar
berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti:
pengungkit, gerendel, pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan
gerendel tersebut. Peralatan di atas ditata sedemikian rupa sehingga
memungkinkan kucing tersebut memperolrh makanan yang tersedia di depan sangkar.
Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box ( peti teka teki) itu
merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan
diri dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut
mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian, tapi gagal membuka pintu
untuk memperolah makanan yang ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana secara
kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar
tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental
conditioning, artinya tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai
instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki”.
Berdasarkan eksperimen di atas, Thorndike
berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons.Dalam
eksperimen Thorndike, ada dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena
belajar. Pertama, kucing yang dalam keadaan lapar. Seandainya, kucing itu dalam
keadaan kenyang, mungkin tidak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan,
mungkin kucing tertidur dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan perkataan
lain, kucing tidak akan menunjukkan gejala belajar untuk keluar sangkar. Oleh
sebab itu, motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam
belajar. Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini
merupakan efek positif atau memuaskan
yang dicapai oleh respond an kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar
yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respons menghasilkan
efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat.
Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respons,
semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut.
2. Teori Pembiasaan Klasikal (Classical Conditioning)
Teori ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh
Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuwan yang
berkebangsaan Rusia. Pada dasarnya classical conditioning merupakan
sebuah prosedur penciptaan refleks baru
dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut.
Kata classical yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk
menghargai karya Pavlov yang dianggap paling dahulu di bidang conditioning
(upaya pembiasaan) dan untuk membedakannya dari teori conditioning lainnya.
Teori ini juga dapat disebut respondent conditioning (pembiasaan yang
dituntut) atau dibiasakan.[3]
Conditioning adalah suatu bentuk belajar yang kesanggupan untuk
berespons terhadap stimulus tertentu dapat dipindahkan pada stimulus lain.[4]Dalam
eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan
antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned
respons (CR), dan unconditioned respons (UCR). CS adalah rangsangan yang
mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari
itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons
yang tidak dipelajari, dan proses yang tidak dipelajari itu disebut UCR. Contoh
eksperimen Pavlov:
“Anjing percobaan Pavlov diikat sedemikian rupa dan pada salah satu
kelenjar kelenjar air liurya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan
dengan pipa kecil (tube). Kemudian dilakukan eksperimen berupa pemberian
latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS) bersama-sama dengan pemberian makanan
berupa serbuk daging (UCS). Setelah latihan yang berulang-ulang ini selesai,
suara bel tadi (CS) didengarkan lagi tanpa disertai makanan (UCS). Apakah yang
terjadi? Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga (CR),
meskipun hanya mendengarkan suara bel (CS). Jadi, CS akan menghasilkan CR
apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama. Dengan perkataan
lain, pembiasaan akan muncul apabila dilakukan latihan secra berulang-ulang”.
Berdasarkan
eksperimen diatas, semakin jelas bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai
dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Kesimpulan dari eksperimen
Pavlov adalah
untuk
menjadikan seseorang itu belajar, kita harus memberikan syarat-syarat tertentu.
Yang terpenting dalam belajar menurut teori conditioning ialah adanya
latihan-latihan yang kontinu. Penganut teori ini mengatakan bahwa segala
tingkah laku manusia juga tidak lain merupakan hasil dari conditioning,
yakni hasil dari latihan-latihan atau kebiasaan mereaksi terhadap syarat-syarat
atau perangsan-perangsang tertentu yang dialami dalam kehidupannya.[5]
3.
Teori Pembiasaan Perilaku Respons (Operant Conditioning)
Pencipta teori ini adalah Burrhus Frederic Skinner (
lahir tahun 1904).Operant adalah sejumlah perilaku atau respons yang
membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat.[6]Istilah “operan”
disini berarti operasi (operation) yang pengaruhnya mengakibatkan
organism melakukan suatu perbuatan pada lingkungannya, misalnya perilaku motor
yang biasanya merupakan perbuatan yang dilakukan secara sadar.[7]Berbeda dengan respondent
conditioning (yang responnya didatangkan oleh stimulus tertentu), respons
dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,
melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforce. Reinforce itu
sendiri sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya
sejumlah respons tertentu, akan tetapi tidak disengaja diadakan sebagai
pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical respondent conditioning.Contoh
eksperimen Skinner:
“Dalam rumusan teorinya. Skinner melakukan percobaan
terhadap seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang dikenal dengan “Skinner
Box”. Peti yang digunakan sebagai sangkar tikus, terdiri atas dua macam
komponen pokok yaitu manipulandum dan alat pemberi reinforcement antara lain
berupa wadah makanan/ manipulandum adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan
gerakannya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri atas tombol,
batang jeruji, dan pengungkit”.
Dalam eksperimen tadi, mula-mula tikus itu mengeksplorasi
sangkar dengan cara lari kesana kemari, mencium benda-benda yang ada
disekitarnya, mencakar dinding, dan sebagainya. Aksi-aksi seperti itu disebut emmited
behavior(tingkah laku yang terpancar), yaitu tingkah laku yang terpancar
dari organism tanpa memedulikan stimulus tertentu. Tanpa disengaja aktivitas
tikus (emmited behavior) melalui cakaran kaki atau moncongnya dapa
menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir
makanan ke dalam wadah. Butir-butir makanan yang keluar itu merupakan reinforce
(penguat) bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah yang
disebut tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi
dengan reinforcement, yakni penguatan berupa butir-butir makanan yang
muncul pada wadah makanan.
Selanjutnya, proses belajar dalam teori
operant conditioning juga tunduk kepada dua hukum operant yang
berbeda, yakni: pertama, law of operant conditioning, dalam hukum ini,
apabila timbulnya tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat,
maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Kedua, law of operant
extinction, dalam hukum ini, apabila tingkah laku operant yang telah
diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus
penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah.
4.Teori Pendekatan Kognitif
Pendekatan
psikologi kognitif lebih menekankan arti penting internal, dan mental manusia. Dalam
pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tidak dapa
diukur dan diterapkan tanpa melibatkan proses mental, seperti motivasi,
kesengajaan, keyakinan, dan sebagainya. Menurut para ahli psikologi kognitif,
aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah teori psikologi, sebab
tidak memerhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta, seperti
berpikir, mempertimbangkan pilihan, dan mengambil keputusan. Itulah sebabnya
pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik.
Akan tetapi, pendekatan kognitif tidak anti terhadap pendekatan behavioristik.
Dalam perspektif
psikologi kognitif, belajar pada dasarnya merupakan peristiwa mental, bukan
peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat
behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap belajar siswa. Secara
lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, tentu
menggunakan perangkat jasmaniah seperti mulut dan tangan, tetapi perilaku
mengucapkan kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan
semata-mata respons atau stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena
dorongan mental yang diatur oleh otaknya. Relevan dengan pernyataan diatas,
Piaget seorang pakar psikologi kognitif berkebangsaan Prancis, menyimpulkan
bahwa: Children have a built in desire to learn (anak-anak memilih
kebutuhan yang melekat dalam dirinya sendiri untuk belajar).[8]
5. Teori
Psikologi Gestalt
Dalam sebuah
eksperimen, Wolfgang Kohler, pendiri aliran psikologi psikologi Gestalt,
menempatkan seekor simpanse yang bernama Sultan ke dalam sangkar yang di
dalamnya berisi dua potongan bambu, yang satu berukuran kecil, satunya lagi
besar garis tengahnya. Di luar sangkar diletakkan sebuah pisang yang jaraknya
tidak terjangkau, baik oleh tangan Sultan maupun oleh salah satu dari kedua
bambu itu. Selanjutnya, Sultan yang telah mengerti cara meraih pisang ke dalam
sangkar dengan sepotong bambu, tidak berhasil mendapatka pisang tersebut dengan
salah satu bambu yang tersedia. Kemudian diletakkannya sepotong bambu di tanah
dan didorongnya dengan sepotong bambu lain, sehingga menyentuh pisang. Hal ini
tidaklah memecahkan problemnya, tetapi sekedar member kepuasan karena ia dapat
mengadakan kontak dengan pisang itu. Kemudian, kedua bamboo itu ditariknya
kembali, lantas dipermainkannya sampai akhirnya, secara kebetulan Sultan
meletakkan ujung bambu yang satu ke ujung bambu yang lain, sehinggan berwujud
sebuah tongkat yang cukup panjang, lalu larilah Sultan ke tepi sangkar dan
menarik pisang tersebut.
Dalam kasus
Sultan diatas, berlakulah apa yang disebut dengan hukum “closure” dan
“proksimitas”, yaitu adanya kecenderungan yang kuat untuk memersepsi pola-pola
yang tidak lengkap sebagai keseluruhan seperti dalam persepsi, dan bahwa
item-item yang saling berdekatan cenderung untuk dikelompokkan. Belajar dalam
pandangan psikologi Gestalt, bukan sekedar proses asosiasi antara
stimulus-respons yang kian lama kian kuat disebabkan adanya berbagai latihan
atau ulangan-ulangan. Menurut aliran ini, belajar itu terjadi apabila terdapat
pengertian (insight). Pengertian ini muncul jika seseorang setelah
beberapa saat mencoba memahamisuatu problem, tiba-tiba muncul adanya kejelasan,
terlihat olehnya hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain,
kemudian dipahami sangkut-pautnya, untuk kemudian dimengerti maknanya.[9]
C.
Aliran-Aliran Psikologi Belajar
1. Strukturalisme
Menurut Jean Piaget, stukturalisme ini sulit dikenali karena mencakup
bentuk-bentuk yang beragam sehingga sulit menampilkan sifat umum dan karena
“struktur-struktur” yang dirujuk memperoleh arti yang cenderunng berbeda-beda.
Mendasarkan pada isi dan struktur jiwa. Setiap gejala psikis yang kompleks
selalu memiliki karakteristik dari elemen-elemennya. Elemen kejiwaan tersebut
dikaitkan satu dengan yang lain oleh asosiasi. Kaum strukturalis yang
dipelipori oleh Wundt, menggunakan metode intropeksi atau mawas diri, yaitu
orang yang menjalani percobaan diminta untuk menceritakan kembali pengalamannya
atau perasaannya setelah ia melakukan eksperimen. Tokoh: Wilhelm Wundt.
2. Fungsionalisme
Mempelajari fungsi dan kegunaan jiwa. Metode yang digunakan eksperimen
dan observasi tingkah laku, ingin mengetahui mengapa dan untuk apa suatu
tingkah laku terjadi. Jiwa seseorang diperlukan untuk melangsungkan kehidupan
dan berfungsi untuk penyesuaian diri. Tokoh: William James.
3. Psikoanalis
Untuk mengetahui gejala jiwa dibutuhkan analisis sampai kepada
ketidaksadarannya yang tertutup oleh alam kesadarannya. Kritik terhadap
psikologi Sigmund Freud(1856-1940) sebagai “bapak psikoanalis” lebih didasarkan
pada metodenya yang dianggap tidak baku, subjektif, dan jumlah klien sedikit
dan semuanya pasien klinis (penderita gangguan jiwa.
4. Behaviorisme
Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh
John B. Watson pada tahun 1913 dan digerakkan oleh Burrhus Frederic Skinner. Mempelajari
tingkah laku nyata, terbuka dan dapat diukur secara obyektif, tidak perlu
menggunakan metode introspeksi. Tokoh: J.B. Watson.
5. Psikologi Gestalt
Max Wertheimer
(1880-1943) seorang yang dipandang sebagai pendiri dari Psikologi Gestalt,
tetapi ia bekerjasama dengan dua temannya, yaitu Kurt Koffka (1886-1941) dan
Wolfgang Kohler (1887-1967). Ketiga tokoh ini mempunyai pemikiran yang sama
atau searah. Kata Gestalt sesungguhnya sudah ada sebelum Wertheimer dan
kawan-kawan menggunakannya sebagai nama.
Muncul sebagai reaksi psikologi elemen. Gestalt=totalitas, keseluruhantidak
sekedar unsur-unsur atau bagian dari totalitas yang secara sendiri-sendiri
tidak memiliki arti apa-apa. Tokoh: Von Ehrenfels, Wertheimer.[10]
Adapun faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa, para ahli berbeda
pebdapat lantaran sudut pandang dan pendekatan mereka terhadap eksistensi siswa
tidak sama. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dipapaparkan aliran-aliran yang
berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa.
a. Aliran Nativisme
Nativisme (Nativism) merupakan sebuah doktrin
filosofis yang sangat berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologis.
Tokoh utama aliran ini bernama Arthur Scopenhaeur (1788-1860), seorang folosof
Jerman.
Aliran nativisme mengemukakan bahwa manusia yang baru
dilahirkan telah memiliki bakat dan pembawwan, baik karena berasal dari
keturunan orang tuanya, nenek moyangnya maupun karena memang ditakdirkan
demikian.
b. Aliran Empirisme
Aliran emprisme merupakan kebalikan dari aliran
nativisme, dengan contoh utama John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini
adalah”The scholl of British Empicism” (aliran empirisme Inggris). Akan
tetapi, aliran ini lebi berpengaruh pada pemikir Amerika Serikat, sehingga
melahirkan aliran filsafat bernama “environmental psychology” (psikologi
lingkungan) yang relative masih baru (Reber, 1988; Syah,1955).
Aliran empirisme mengemukakan bahwa anak yang baru
lahir laksana kertas yang putih bersih atau semacam tabula rasa (tabula= meja,
rasa= lilin), yaitu meja yang bertutup lapisan lilin. Kertas putih bersih dapat
ditulis dengan tinta warna apapun, dan warna tulisannya akan sama dengan warna
tinta tersebut. Begitu pula halnya dengan meja yang berlilin, dapat dicat
dengan warna-warni, sebelum ditempelkan. Anak diumpamakan bagaikan kertas putih
yang bersih, sedangkan warna tinta diumpamakan sebagai lingkungan (pendidikan)
yang akan berpengaruh terhadapnya; sudah pasti tidak mungkin tidak. Pendidikan
pun dapat membuat anak menjadi baik atau buruk. Pendidikan dapat memegang
peranan penting dalam perkembangan anak, sedangkan bakat pembawaannya bisa
ditutup dengan serapat-rapatnya oleh pendidikan.
c. Aliran Konvergensi atau Aliran Persesuaian
Aliran ini pada intinya merupakan perpaduan antara pandangan aliran
nativisme dan empirisme, yang keduanya dipandang sangat berat sebelah. Aliran
ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan ) dengan lingkungan sebagai
faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia. Tokoh utama aliran
konvergensi adalah Louis William Stern (1871-1938), seorang filsuf, sekaligus
sebagai psikolog Jerman.[11]
[1]Drs.Tohirin,
Ms. MPd., Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal 58-59.
[2]Drs.Alex
Sobur, MSi., Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hal
223.
[3]Drs.Tohirin,
Ms. MPd., Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal 62-65.
[4]Drs.Alex
Sobur, MSi., Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hal
223.
[5]Drs.Alex
Sobur, MSi., Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hal
227.
[6]Drs.Tohirin,
Ms. MPd., Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal 66.
[7]Drs.Alex
Sobur, MSi., Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hal
227.
[8]Drs.Tohirin,
Ms. MPd., Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal 66-72.
[11]Ki Fudyartanta, Psikologi Perkembangan,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hal. 47-51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar