Rabu, 25 April 2018

Pengertian Pembelajaran



PEMBAHASAN
A.    Pengertian Belajar
Dalam konteks psikologi pembelajaran, pengertian tentang belajar amat beragam. Dalam perspektif psikologi, belajar merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan dalam perilaku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psychology: The Teaching-Learning Process dalam Syah (1996) menyatakan bahwa belajar a process of progressive behavior adaptation (belajar adalah proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif).[1]
B.     Teori-Teori Belajar
Dalam psikologi, teori belajar selalu dihubungkan dengan stimulus respons dan teori-teori tingkah laku yang menjelaskan respons makhluk hidup dihubungkan dengan stimulus yang didapat dalam lingkungannya.[2]Diantara sekian banyak teori yang berdasarkan hasil eksperimen, ada tiga teori yang paling menonjol, yaitu Connectionism, Classical Conditioning, dan Operan Conditioning. Dikatakan menonjol karena tiga teori diatas banyak mengilhami dan mendorong para ahli melakukan eksperimen-eksperimen lainnya untuk mengembangkan teori-teori baru yang juga berkaitan dengan belajar. Selain tiga teori diatas, ada juga teori Pendekatan Kognitif dan teori psikologi Gestalt.
1.      Teori Koneksionisme (Connectionism)
Teori ini ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L.Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimennya seperti berikut ini:
“Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti: pengungkit, gerendel, pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan di atas ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperolrh makanan yang tersedia di depan sangkar. Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box ( peti teka teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian, tapi gagal membuka pintu untuk memperolah makanan yang ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental conditioning, artinya tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki”.
Berdasarkan eksperimen di atas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons.Dalam eksperimen Thorndike, ada dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, kucing yang dalam keadaan lapar. Seandainya, kucing itu dalam keadaan kenyang, mungkin tidak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, mungkin kucing tertidur dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan perkataan lain, kucing tidak akan menunjukkan gejala belajar untuk keluar sangkar. Oleh sebab itu, motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar. Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efek  positif atau memuaskan yang dicapai oleh respond an kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut.

2.      Teori Pembiasaan Klasikal (Classical Conditioning)
Teori ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuwan yang  berkebangsaan Rusia. Pada dasarnya classical conditioning merupakan sebuah prosedur penciptaan refleks baru  dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut. Kata classical yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov yang dianggap paling dahulu di bidang conditioning (upaya pembiasaan) dan untuk membedakannya dari teori conditioning lainnya. Teori ini juga dapat disebut respondent conditioning (pembiasaan yang dituntut) atau dibiasakan.[3]
Conditioning adalah suatu bentuk belajar yang kesanggupan untuk berespons terhadap stimulus tertentu dapat dipindahkan pada stimulus lain.[4]Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned respons (CR), dan unconditioned respons (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan proses yang tidak dipelajari itu disebut UCR. Contoh eksperimen Pavlov:
“Anjing percobaan Pavlov diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar kelenjar air liurya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Kemudian dilakukan eksperimen berupa pemberian latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS) bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah latihan yang berulang-ulang ini selesai, suara bel tadi (CS) didengarkan lagi tanpa disertai makanan (UCS). Apakah yang terjadi? Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengarkan suara bel (CS). Jadi, CS akan menghasilkan CR apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama. Dengan perkataan lain, pembiasaan akan muncul apabila dilakukan latihan secra berulang-ulang”.
      Berdasarkan eksperimen diatas, semakin jelas bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Kesimpulan dari eksperimen Pavlov adalah untuk menjadikan seseorang itu belajar, kita harus memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori conditioning ialah adanya latihan-latihan yang kontinu. Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain merupakan hasil dari conditioning, yakni hasil dari latihan-latihan atau kebiasaan mereaksi terhadap syarat-syarat atau perangsan-perangsang tertentu yang dialami dalam kehidupannya.[5]
3.      Teori Pembiasaan Perilaku Respons (Operant Conditioning)
Pencipta teori ini adalah Burrhus Frederic Skinner ( lahir tahun 1904).Operant adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat.[6]Istilah “operan” disini berarti operasi (operation) yang pengaruhnya mengakibatkan organism melakukan suatu perbuatan pada lingkungannya, misalnya perilaku motor yang biasanya merupakan perbuatan yang dilakukan secara sadar.[7]Berbeda dengan respondent conditioning (yang responnya didatangkan oleh stimulus tertentu), respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforce. Reinforce itu sendiri sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, akan tetapi tidak disengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical respondent conditioning.Contoh eksperimen Skinner:
“Dalam rumusan teorinya. Skinner melakukan percobaan terhadap seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang dikenal dengan “Skinner Box”. Peti yang digunakan sebagai sangkar tikus, terdiri atas dua macam komponen pokok yaitu manipulandum dan alat pemberi reinforcement antara lain berupa wadah makanan/ manipulandum adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit”.
Dalam eksperimen tadi, mula-mula tikus itu mengeksplorasi sangkar dengan cara lari kesana kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya, mencakar dinding, dan sebagainya. Aksi-aksi seperti itu disebut emmited behavior(tingkah laku yang terpancar), yaitu tingkah laku yang terpancar dari organism tanpa memedulikan stimulus tertentu. Tanpa disengaja aktivitas tikus (emmited behavior) melalui cakaran kaki atau moncongnya dapa menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir makanan ke dalam wadah. Butir-butir makanan yang keluar itu merupakan reinforce (penguat) bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah yang disebut tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan reinforcement, yakni penguatan berupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.
Selanjutnya, proses belajar dalam teori operant conditioning juga tunduk kepada dua hukum operant yang berbeda, yakni: pertama, law of operant conditioning, dalam hukum ini, apabila timbulnya tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Kedua, law of operant extinction, dalam hukum ini, apabila tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah.
4.Teori Pendekatan Kognitif
      Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting internal, dan mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tidak dapa diukur dan diterapkan tanpa melibatkan proses mental, seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan sebagainya. Menurut para ahli psikologi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah teori psikologi, sebab tidak memerhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta, seperti berpikir, mempertimbangkan pilihan, dan mengambil keputusan. Itulah sebabnya pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik. Akan tetapi, pendekatan kognitif tidak anti terhadap pendekatan behavioristik.
      Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada dasarnya merupakan peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, tentu menggunakan perangkat jasmaniah seperti mulut dan tangan, tetapi perilaku mengucapkan kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atau stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya. Relevan dengan pernyataan diatas, Piaget seorang pakar psikologi kognitif berkebangsaan Prancis, menyimpulkan bahwa: Children have a built in desire to learn (anak-anak memilih kebutuhan yang melekat dalam dirinya sendiri untuk belajar).[8]
5.  Teori Psikologi Gestalt
     Dalam sebuah eksperimen, Wolfgang Kohler, pendiri aliran psikologi psikologi Gestalt, menempatkan seekor simpanse yang bernama Sultan ke dalam sangkar yang di dalamnya berisi dua potongan bambu, yang satu berukuran kecil, satunya lagi besar garis tengahnya. Di luar sangkar diletakkan sebuah pisang yang jaraknya tidak terjangkau, baik oleh tangan Sultan maupun oleh salah satu dari kedua bambu itu. Selanjutnya, Sultan yang telah mengerti cara meraih pisang ke dalam sangkar dengan sepotong bambu, tidak berhasil mendapatka pisang tersebut dengan salah satu bambu yang tersedia. Kemudian diletakkannya sepotong bambu di tanah dan didorongnya dengan sepotong bambu lain, sehingga menyentuh pisang. Hal ini tidaklah memecahkan problemnya, tetapi sekedar member kepuasan karena ia dapat mengadakan kontak dengan pisang itu. Kemudian, kedua bamboo itu ditariknya kembali, lantas dipermainkannya sampai akhirnya, secara kebetulan Sultan meletakkan ujung bambu yang satu ke ujung bambu yang lain, sehinggan berwujud sebuah tongkat yang cukup panjang, lalu larilah Sultan ke tepi sangkar dan menarik pisang tersebut.
     Dalam kasus Sultan diatas, berlakulah apa yang disebut dengan hukum “closure” dan “proksimitas”, yaitu adanya kecenderungan yang kuat untuk memersepsi pola-pola yang tidak lengkap sebagai keseluruhan seperti dalam persepsi, dan bahwa item-item yang saling berdekatan cenderung untuk dikelompokkan. Belajar dalam pandangan psikologi Gestalt, bukan sekedar proses asosiasi antara stimulus-respons yang kian lama kian kuat disebabkan adanya berbagai latihan atau ulangan-ulangan. Menurut aliran ini, belajar itu terjadi apabila terdapat pengertian (insight). Pengertian ini muncul jika seseorang setelah beberapa saat mencoba memahamisuatu problem, tiba-tiba muncul adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain, kemudian dipahami sangkut-pautnya, untuk kemudian dimengerti maknanya.[9]
C.    Aliran-Aliran Psikologi Belajar
1.      Strukturalisme
Menurut Jean Piaget, stukturalisme ini sulit dikenali karena mencakup bentuk-bentuk yang beragam sehingga sulit menampilkan sifat umum dan karena “struktur-struktur” yang dirujuk memperoleh arti yang cenderunng berbeda-beda. Mendasarkan pada isi dan struktur jiwa. Setiap gejala psikis yang kompleks selalu memiliki karakteristik dari elemen-elemennya. Elemen kejiwaan tersebut dikaitkan satu dengan yang lain oleh asosiasi. Kaum strukturalis yang dipelipori oleh Wundt, menggunakan metode intropeksi atau mawas diri, yaitu orang yang menjalani percobaan diminta untuk menceritakan kembali pengalamannya atau perasaannya setelah ia melakukan eksperimen. Tokoh: Wilhelm Wundt.
2.      Fungsionalisme
Mempelajari fungsi dan kegunaan jiwa. Metode yang digunakan eksperimen dan observasi tingkah laku, ingin mengetahui mengapa dan untuk apa suatu tingkah laku terjadi. Jiwa seseorang diperlukan untuk melangsungkan kehidupan dan berfungsi untuk penyesuaian diri. Tokoh: William James.
3.      Psikoanalis
Untuk mengetahui gejala jiwa dibutuhkan analisis sampai kepada ketidaksadarannya yang tertutup oleh alam kesadarannya. Kritik terhadap psikologi Sigmund Freud(1856-1940) sebagai “bapak psikoanalis” lebih didasarkan pada metodenya yang dianggap tidak baku, subjektif, dan jumlah klien sedikit dan semuanya pasien klinis (penderita gangguan jiwa.
4.      Behaviorisme
Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada tahun 1913 dan digerakkan oleh Burrhus Frederic Skinner. Mempelajari tingkah laku nyata, terbuka dan dapat diukur secara obyektif, tidak perlu menggunakan metode introspeksi. Tokoh: J.B. Watson.
5.      Psikologi Gestalt
Max Wertheimer (1880-1943) seorang yang dipandang sebagai pendiri dari Psikologi Gestalt, tetapi ia bekerjasama dengan dua temannya, yaitu Kurt Koffka (1886-1941) dan Wolfgang Kohler (1887-1967). Ketiga tokoh ini mempunyai pemikiran yang sama atau searah. Kata Gestalt sesungguhnya sudah ada sebelum Wertheimer dan kawan-kawan menggunakannya sebagai nama.
Muncul sebagai reaksi psikologi elemen. Gestalt=totalitas, keseluruhantidak sekedar unsur-unsur atau bagian dari totalitas yang secara sendiri-sendiri tidak memiliki arti apa-apa. Tokoh: Von Ehrenfels, Wertheimer.[10]
Adapun faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa, para ahli berbeda pebdapat lantaran sudut pandang dan pendekatan mereka terhadap eksistensi siswa tidak sama. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dipapaparkan aliran-aliran yang berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa.
a.       Aliran Nativisme
Nativisme (Nativism) merupakan sebuah doktrin filosofis yang sangat berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologis. Tokoh utama aliran ini bernama Arthur Scopenhaeur (1788-1860), seorang folosof Jerman.
Aliran nativisme mengemukakan bahwa manusia yang baru dilahirkan telah memiliki bakat dan pembawwan, baik karena berasal dari keturunan orang tuanya, nenek moyangnya maupun karena memang ditakdirkan demikian.
b.      Aliran Empirisme
Aliran emprisme merupakan kebalikan dari aliran nativisme, dengan contoh utama John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini adalah”The scholl of British Empicism” (aliran empirisme Inggris). Akan tetapi, aliran ini lebi berpengaruh pada pemikir Amerika Serikat, sehingga melahirkan aliran filsafat bernama “environmental psychology” (psikologi lingkungan) yang relative masih baru (Reber, 1988; Syah,1955).
Aliran empirisme mengemukakan bahwa anak yang baru lahir laksana kertas yang putih bersih atau semacam tabula rasa (tabula= meja, rasa= lilin), yaitu meja yang bertutup lapisan lilin. Kertas putih bersih dapat ditulis dengan tinta warna apapun, dan warna tulisannya akan sama dengan warna tinta tersebut. Begitu pula halnya dengan meja yang berlilin, dapat dicat dengan warna-warni, sebelum ditempelkan. Anak diumpamakan bagaikan kertas putih yang bersih, sedangkan warna tinta diumpamakan sebagai lingkungan (pendidikan) yang akan berpengaruh terhadapnya; sudah pasti tidak mungkin tidak. Pendidikan pun dapat membuat anak menjadi baik atau buruk. Pendidikan dapat memegang peranan penting dalam perkembangan anak, sedangkan bakat pembawaannya bisa ditutup dengan serapat-rapatnya oleh pendidikan.
c.       Aliran Konvergensi atau Aliran Persesuaian
Aliran ini pada intinya merupakan perpaduan antara pandangan aliran nativisme dan empirisme, yang keduanya dipandang sangat berat sebelah. Aliran ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan ) dengan lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia. Tokoh utama aliran konvergensi adalah Louis William Stern (1871-1938), seorang filsuf, sekaligus sebagai psikolog Jerman.[11]


[1]Drs.Tohirin, Ms. MPd., Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal 58-59.
[2]Drs.Alex Sobur, MSi., Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hal 223.
[3]Drs.Tohirin, Ms. MPd., Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal 62-65.
[4]Drs.Alex Sobur, MSi., Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hal 223.
[5]Drs.Alex Sobur, MSi., Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hal 227.
[6]Drs.Tohirin, Ms. MPd., Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal 66.
[7]Drs.Alex Sobur, MSi., Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hal 227.
[8]Drs.Tohirin, Ms. MPd., Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal 66-72.
[9] Drs.Alex Sobur, MSi., Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hal 232-234.
                [10]Hiryanto, MSi., Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Setia, 2005), hal.22-25
[11]Ki Fudyartanta, Psikologi Perkembangan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 47-51

RPP IPA



RENCANA  PELAKSANAAN  PEMBELAJARAN

Nama                           : HELDAWATI
Mata Pelajaran          : Ilmu Pengetahuan Alam
Kelas/Semester         : VI / I
Alokasi Waktu        :  2  x  35 menit  ( 1 x pertemuan )

Standa                                      Standar Kompetensi           : Memahami hubungan antara ciri - ciri makhluk hidup dengan lingkungan tempat hidupnya.

Kompetensi Dasar               :Mendeskripsikan hubungan antara ciri–ciri khusus yang dimiliki tumbuhan (kaktus tumbuhan pemakan serangga).

I.    Tujuan Pembelajaran
a.      Melalui pengamatan terhadap gambar dan lingkungan , siswa dapat menyebutkan 3 jenis   tumbuhan yang memiliki ciri khusus untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan benar.
b.      Melalui pengamatan dan  tanya jawab, siswa dapat menyebutkan ciri khusus yang dimiliki oleh 3 jenis tumbuhan dengan benar.
c.      Melalui diskusi kelompok, siswa dapat menjelaskan bahwa adanya hubungan antara ciri-ciri khusus yang dimiliki tumbuhan dan lingkungan hidupnya dengan benar.

II. Indikator Pencapaian Kompetensi
a.       Siswa mengobservasi gambar dan lingkungan  agar dapat menentukan nama – nama tumbuhan yang memiliki ciri khusus untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan benar.
b.      Siswa melakukan observasi terhadap lingkungannya, agar dapat menyebutkan ciri – ciri khusus yang dimilki tumbuhan dengan benar.
c.       Siswa berdiskusi kelompok untuk membuktikan bahwa adanya hubungan antara ciri – ciri khusus yang dimiliki tumbuhan dan lingkungan hidupnya dengan benar.

            III. Materi Pokok
1.      Ciri Khusus Tumbuhan
            Contoh:
                a.       Kaktu             b.  Teratai                c.  Kantong Semar       d. Bunga Raflesia
ü  Daun berbentuk jarum, hidup di daerah yang kering, memiliki akar tunggang yang panjang untuk menjangkau air, batangnya adalah tempat menyimpan cadangan air. Hidup di daerah rawa-rawa memiliki bung yang indah, akarnya serabut, batang menggembung tempat menyimpan oksigen.
ü  Bentuknya bunga seperti guci, merupakan pemakan serangga,di dalam bunga terdapat cairan untuk menarik serangga.
ü  Dapat mengeluarkan bau busuk, memiliki kelopak bunga yang lebar, merupakan tumbuhan yang langka, bau yang dikeluarkan bertujuan untuk menarik serangga.

V  .       Metode Pembelajaran      : 
·         Ceramah.
·         tanya jawab                                       
·          problem solving dan observasi.
VI .      Kegiatan Pembelajaran
     
No.
Tahap
Kegiatan
Waktu
1.
Pra
Ø  Mempersiapkan perangkat pembelajaran yang akan digunakan,
Ø  Mengkondisikan siswa untuk pembelajaran yang akan dilaksankan.

2.
Awal
a. Apersepsi








b. Motivasi










c. Informasi
Ø  Mengadakan tanya jawab tentang materi yang telah diberikan sebelumnya.
Ø  Mengadakan tanya jawab tentang nama – nama dan ciri – ciri tumbuhan yang ada dilingkungannya.
Ø  Menugaskan kepada siswa untuk mengamati gambar yang ada di depan atau yang ditunjukkan guru.

Ø  Memotivasi siswa untuk aktif mengikuti pembelajaran dengan memberikan beberapa pertayaan seperti :
1.      Gambar apa saja yang terdapat di papan tulis atau di depan ?
2.      Dimanakah tumbuhan a dapat hidup ?
3.      Apa ciri dari tumbuhan a ?
4.      Apa fungsi ciri dari tumbuhan a ?

Ø  Memberikan informasi tentang materi dan tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa setelah selesai pembelajaran.
Ø  Menjelaskan metode dan kegiatan yang akan dilaksanakan siswa selama pembelajaran.

3 Menit









5 Menit










2 Menit
3.
Inti
a. Eksplorasi














b. Elaborasi














c. Konfirmasi
Ø  Siswa mengamati gambar dan beberapa jenis tumbuhan yang ada di depan atau layar.
Ø  Siswa mencoba menyebutkan ciri  khusus yang dimilki oleh beberapa jenis tumbuhan yang sedang diamatinya.
Ø  Siswa dengan teman sebangkunya membahas hasil pengamatannya untuk menemukan konsep mengenai ciri khusus dari beberapa tumbuhan yang diamatinya.
Ø  Siswa memahami konsep mengenai ciri khusus tumbuhan ada hubungannya dengan lingkungan hidupnya.

Ø  Siswa dengan teman sebangkunya mengidentifikasi tumbuhan berdasarkan tempat hidupnya dan menentukan ciri khusunya.
Ø  Melakukan kuis beradu  cepat untuk menyelesaikan soal berupa gambar untuk menentukan ciri khusus yang dimiliki oleh tumbuhan tertentu.
Ø  Siswa melakukan problem solving untuk  membuktikan bahwa terdapat hubungan antara ciri khusus tumbuhan dengan lingkungan hidupnya.

Ø  Siswa membahas hubungan antara ciri khusus tumbuhan dengan lingkungan hidupnya.
Ø  Siswa berdiskusi kelompok untuk menyelesaikan  masalah yang ada dalam LKS.
Ø  Setiap kelompok melaporkan hasil diskusinya dan kelompok yang lain menanggapinya.
Ø  Guru bersama siswa melakukan tanya jawab tentang materi yang belum dipahami siswa.
Ø  Siswa dengan bimbingan guru menyimpulkan materi berdasarkan temuan–temuan selama pembelajaran.
Ø  Guru memberi penguatan kepada siswa yang telah bisa menjawab soal – soal kuis.

15 Menit














15 Menit















10 Menit

4.

Akhir

Ø  Membuat kesimpulan bersama siswa tentang  ciri khusus yang dimiliki beberapa tumbuhan dan hubungannya dengan lingkungan hidupnya.
Ø  Membuat learning journal sebagai bahan refleksi bagi siswa dan guru.
Ø  Evaluasi
a.       Penilaian
Tekhnik  : -  Tes
                 
Bentuk   :   Isian   10  soal
b.      Analisis hasil belajar
c.       Tindak lanjut
*      Perbaikan
*      Pengayaan
d.      Memberi informasi tentang materi dan kegiatan pembelajaran pada pertemuan yang akan datang.

20 Menit


VII.  Penilaian
       
            Pedoman Penilaian
Setiap 1 butir soal benar  skor 1   x   10   =   10
Setiap 1 butir soal salah skor 0

Nilai  =  skor perolehan   x   100
                    Skor maksimal

VIII. Sumber Belajar
  1. Buku SAINS kelas VI halaman 9 - 12. Penerbit   :  Erlangga
  2. Buku IPA kelas VI  halaman 6 - 8. Penerbit   :  Depdiknas
  3. Buku IPA kelas VI halaman 7 - 9. Penerbit   : BSE

IX.         Media/A                                     alat Pembelajaran
  1. Beberapa jenis tumbuhan yang memiliki ciri khusus.
  2. Gambar tumbuhan yang memiliki ciri khusus.
  3. Lingkungan / alam sekitar.

X.      Nilai yang dikembangkan
1.      Kerja sama
2.      Tanggung jawab
3.      Disiplin
4.      Mandiri

Banyumas, …., …..., …….

       Mengetahui
Kepala SDN 1  ………                                                                         Guru  Kelas VI,



                                                                 
NIP.                                                                                             NIP.